Jumat, 09 Juli 2021

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

 

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

 

Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengarang untuk menyampaikan ide, gagasan, dan kegelisahan batin atas sesuatu yang berhasil ia rekam. Adanya gejolak dan hasrat dalam diri seorang pengarang akan dengan bebas dituangkan ke dalam bentuk kata-kata. Walaupun penyampaian cerpen lebih pendek ketimbang novel, namun dalam segi pemahaman cerpen juga tidak bisa dianggap remeh atau mudah. Hal tersebut terjadi karena dalam penulisan cerpen, pengarang tidak dapat membuat ruang lingkup yang lebih besar dalam melukiskan sebuah fenomena atau aspek yang ada di dalamnya. Akan tetapi cerpen mampu menawarkan variasi cerita yang begitu kompleks termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Edgar dalam (Nurgiyantoro, 12:2012) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita pendek yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira_kira berkisar antara setengah sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan dalam sebuah novel.

Permasalahan yang hadir dalam cerpen, kerapkali tidak terlepas dari kehidupan pengarang. Adapun permasalahan yang hadir dapat pengarang tangkap dan menjadi bahan baku dalam proses pembuatan cerita.  Sehingga hal tersebut dapat menjadi alasan bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial masyarakat (Teew, 1984:185). Adanya makna yang dapat dituai dan kritik yang hadir di dalamnya menjadikan karya sastra tidak sekadar indah melainkan bermanfaat. Seperti halnya pada cerpen-cerpen karya Shoim Anwar yang begitu menarik untuk diulas dari segala sisi. Kepadatan cerita dan keruntutan jalan cerita yang digambarkan mampu menarik gairah pembacanya. Pembaca seakan-akan dibuat gemas, terlebih lagi cerpen yang ditulis menyuguhkan jalan cerita yang menggantung.

Dalam essai ini, penulis bermaksud melihat citra perempuan dalam lima cerpen karya Shoim Anwar. Bagaimana penggambaran dan perwatakan seorang perempuan yang dihadirkan pada cerpennya begitu menarik untuk diulas. Penulis tidak hanya menyuguhkan telaah dalam bentuk essai melainkan di dalamnya juga terkandung kritik bagi sang pengarang cerpen. Sehingga tulisan ini dirasa juga bermanfaat bagi pengarang untuk lebih produktif dan menjadi lebih baik untuk menciptakan karya sastra selanjutnya terutama cerpen.

Citra perempuan di dalam sebuah karya sastra kerapkali melahirkan bentuk citra perempuan yang sama di dalam kehidupan ataupun hal tersebut juga bisa berlaku sebaliknya. Dalam lima cerpen karya Shoim Anwar yakni, “Sorot Mata Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, dan “Jangan Ke Istana Anakku”, penulis menemukan adanya kesamaan, di mana dalam masing-masing cerpen tersebut, pengarang menghadirkan sesosok tokoh perempuan sebagai tokoh yang memiliki peran yang penting. Namun sebelum beranjak pada pembahasan inti mengenai bagaimana citra perempuan pada masing-masing cerpen tersebut hendaknya kita mengenal apa yang dinamakan “citra”.

Citra secara etimologi merupakan penggambaran, angan, atau pikirian. Selain itu citra atau citraan merupakan visualisasi yang dimiliki banyak orang mengenai pribadi, kesan, mental, ataupun bayangan yang diciptakan oleh sebuah kata-kata. Citra merupakan unsur dasar yang khas dalam sebuah karya dasar, baik itu puisi, cerpen, maupun novel. Banyak dari karya-karya penulis karya sastra yang menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang beraspek fisis dan psikis. Selain itu perempuan sebagai makhluk sosial juga tidak terlepas dari aspek keluarga dan masyarakat. Namun dalam beberapa analisis, kerapkali seorang peneliti feminisme berlandaskan dari aspek keluarga dan masyarakat. Keduan peran tersebut tentunya berbeda baik peran di dalam masyarakat maupun peran di dalam keluarga.

Citra perempuan yang Shoim Anwar tulis di dalam masing-masing cerpen tersebut juga bervariasi, namun apabila kita selami lebih dalam setiap cerita pada masing-masing cerpen tersebut, perempuan yang digambarkan memiliki andil besar bagi para tokoh utama. Seakan-akan pengarang, yakni Shoim Anwar menggambarkan perempuan sebagai sesuatu yang lebih. Adanya kesamaan peran dan sangkut paut dalam jalan cerita yang hampir sama merupakan sebuah temuan yang menarik untuk diulas. Hal tersebut berkaitan dengan citra fisis, yakni sebuah penggambaran sosok perempuan di dalam cerita tentang kesamaan kode, sehingga fisik perempuan tercitrakan dengan mapan dalam realitas. Maka dari itu, meskipun citra fisis perempuan dalam sebuah karya, yakni cerpen yang sepenuhnya merupakan hasil kreatif dari sang pengarang, namun kita sebagai pembaca memiliki kesamaan interpretasi dalam melihat fisik perempuan tersebut.

Kerapkali di dalam karya sastra perempuan yang digambarkan masih didominasi oleh peran lelaki. Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan lembut.  Hal ini juga terjadi di kehidupan nyata, perempuan mengalami sterotip, sebagai mahluk yang lemah lembut. Bahkan masih kerapk ditemui dalam media sosial dan media massa mengenai kasus pelecehan ataupun kekerasan terhadap perempuan. Terutama pada tahun 2020 terjadi demo besar mengenai RUU KUHP yang dianggap merugikan perempuan yakni pasal 414 terkait alat kontrasepsi, dan pasal 417 tentang perzinahan dan kohibitasi. Selain itu pada tahun 2021 terjadi kekerasan seorang perempuan oleh pacarnya seorang mahasiswa semester 4 di sebuah Universitas swasta ternama di Jakarta. Perempuan tersebut dianiaya dan diancam untuk disebarkan fotonya oleh pacarnya. Ruang patriarki di era society 5.0 nampaknya menjadi lebih tragis. Hal ini tidak jauh berbeda di dalam dunia sastra masih adanya pelemahan mengenai perempuan sebagai sosok yang masih dipandang sterotip.

Rangkuman Singkat Masing-masing Cerpen.

Kita akan berangkat dari jalan cerita masing-masing cerpen karya Shoim Anwar secara ringkas, agar pembaca awam akan mudah memahami. Tentang Cerpen Sorot Mata Syaila. Menceritakan mengenai tokoh Bernama “Matalir” yang merupakan buronan lembaga anti korupsi Indonesia. Berlatar belakang di Bandara Abu Dhabi, tokoh Matalir bertemu dengan sesosok perempuan cantik yang bernama Syaila. Matalir bukan tanpa alasan berada di Bandara Abu Dhabi, ia dan keluarganya usai menunaikan ibadah haji di kota Mekkah dan bermaksud untuk pergi ke luar negeri. Tokoh perempuan Syaila hendak pergi menuju Pakistan, namun ia tertidur di dekapan Matalir sehingga membuat Matalir tidak dapat berkutik di kursinya sewaktu menunggu pesawatnya take off.

Syaila digambarang oleh Shoim Anwar sebagai perempuan memakai gaun panjang terusan berwarna hitam, memiliki bulu-bulu panjan di lengannya, dan juga memiliki kuku-kuku yang dipotong meruncing berwarna merah muda. Pada akhir kisah cerpen tersebut, tokoh Matalir mengejar Syaila pada Lorong-lorong yang terletak di bawah setelah menuruni anak tangga di bandara tersebut. Matalir tidak mampu mengejar tokoh Syaila, sampai diujung Lorong yang gelap ia justru menjumpai kedua istri dan empat orang anaknya di gantung seperti kambing.

Cerpen selanjutnya yakni berjudul Tahi Lalat. Cerpen tersebut merupakan cerpen yang begitu fenomenal di lingkup Kampus Adi Buana Surabaya, terlebih lagi terbit di berbagai media cetak. Cerpen yang mengangkat mengenai isu dan desas-desu tahi lalat di dada istri seorang lurah. Di dalam cerpen tersebut, tokoh utama adalah “Aku” digambarkan sebagai seorang lelaki yang memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan Bernama Laela duduk di bangku kelas dua SD. Berlatar belakang di sebuah desa, cerpen mengisahkan mengenai desas-desus adanya tahi lalat di dada istri pak lurah. Pak Lurah sendiri digambarkan sebagai seorang maniak tanah, kerapkali menjual tanah milik warganya dengan cara paksa kepada para pengembang perumahan. Maka dari hal tersebut banyak warganya yang membicarakan dan menggunjingya termasuk dari hal paling kecil yakni tahi lalat yang sebesar biji randu.

Shoim Anwar menggambarkan citra perempuan dalam cerpen tersebut sebagai seorang perempuan yang nakal, karena kedekatanya dengan bos proyek perumahan. Pada akhir cerpen tersebut, Tokoh “aku” tertimpa nasib sial karena terjatuh akibat diserempet oleh mobil jeep, sesampainya di rumah ia membeicarakan hal tersebut kepada istrinya dan mendapati anaknya pulang dari sekolah membawa sebuah gambar yang mirip seperti istri pak lurah karena adanya tahi lalat di dadanya.

Cerpen ketiga yakni Sepatu Jinjit Aryanti. Berlatar tempat di sebuah hotel di Singapura. Cerpen tersebut mengisahkan tokoh “Aku” dan perempuan bernama “Aryanti”, seorang caddy lapangan golf. Aryanti digambarkan sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dan lincah. Kulitnya cerah, hidung cenderung kecil tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan belahan di tengah. Tokoh Aku dan Aryanti merupakan sebuah pelarian dari kasus pembunuhan seorang pria yang merupakan petinggi (pejabat). Aryanti merupakan tokoh kunci dalam mengungkap kasus tersebut, sehingga ia diselamtkan dan dijaga oleh tokoh “aku” karena tokoh “aku” juga menjadi sasaran kambing hitam para petinggi. Selepas kemesraan mereka, mereka lalu diketuk oleh dua pria misterius namun tokoh “aku” sedikit mengenali mereka. Hingga pada akhir cerita dalam cerpen tersebut, tokoh “aku” dan ariyanti dibawa pergi oleh kedua pria misterius tersebut ke Balikpapan.

Cerpen keempat yakni berjudul Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue. Berlatar belakang di sebuah tempat dansa, cerpen tersebut menceritakan mengenai seorang perempuan yang menagih janji seorang hakim pria bernama Bambi. Berbeda dengan ketiga cerpen di atas, cerpen berjudul Bambi dan perempuan Berselendang Baby Blue menggunakan tokoh utama seorang perempuan bernama Anik. Konflik terjadi Ketika tokoh utama “Anik” menemui dan menahan “Bambi” di depan toilet pria. Tokoh Anik bermaksud untuk menagih janji Bambi sewaktu dipersidangan ia dimenangkan. Namun Bambi selaku hakim tunggal dipanggadilan justru berkhianat. Anik mamasuki problematika hukum karena adanya iming-iming menang oleh Bambi dan Anik telah memberikan uang kepada Bambi. Setelah perdebatan panjang tersebut Anik dilerai oleh satpam dan akhirnya ditenangkan oleh tokoh bernama Devira.

Devira bercerita kepada Anik, bawah sesungguhnya alasan Bambi tidak memenangkannya di pengadilan karena Bambi telah diberikan uang yang lebih banyak serta tubuh oleh Miske yang memiliki nama asli Kiara. Kiara merupakan ahli waris dan anak dari almarhum Pak Madali yang tokoh utama gugat. Pada akhir cerita, tokoh utama Anik hanya bisa melihat Bambi dan Miske berangkulan sambal berjalan meninggalkan arena menuju kamar hotel.

Cerpen kelima yakni berjudul Jangan ke Istana Anakku. Cerpen tesebut masuk dalam kategori arsip cerpen, Jawa Pos. Berlatar belakang di Istana dan kota yang jauh dari Istana,dengan tokoh utama “Aku”. Tokoh utama “Aku” merupakan seorang prajurit penjaga istana yang terpisah oleh anak  yang bernama Dewi dan istri yang bernama Trihayu karena kewajibannya sebagai seorang prajurit yang harus menetap di Istana. Alasan tersebut karena semua prajurit diwajibkan tidur di barrak dalam istana agar tidak membocorkan rahasia istana. Kewajibannya sebagai seorang prajurit istana tersebutlah yang membuatnya harus terpisah dari anak dan istri, ia harus berjaga sewaktu istrinya melahirkan dan ia harus berpisah serta menitipkan Dewi kepada keponakannya untuk diasuh. Desas-desusnya bahwa istana tepat ia jaga para petingginya menggunakan tumbal seorang perempuan-perempuan cantik untuk dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang dihuni oleh Nyi Blorong. Bahkan konon pada malam Rabu Kliwon Ketika terdengar gending dan bau kembang serta kemenyan, pada saat itulah waktu wadal diumpankan. Pada cerpen ini, Shoim Anwar menggambarkan tokoh Dewi sebagai seorang perempuan masih berumur remaja anak dari seorang penjaga. Dewi berumur limas belas tahun yang memiliki wajah mirip ibunya, kulitnya bersih, cerdas, lincah, dan gemar memakai celana pendek serta memabawa alat di genggamannya.

Anak dari tokoh utama tersebut kerap menginginkan untuk diajak ke istana oleh bapaknya. Namun tokoh utama “Aku” selaku ayah menolak karena tahu kebusukan, kekejaman, dan situasi di istana. Sehingga ia hanya ingin membuatkan gubuk kecil untuk anknya agar dapat merasakan kebebasan yang ia sendiri dapati. Tokoh utama “Aku” mengingikan anak gadisnya besar dengan kebebasan dan memiliki anak yang dapat ia temani bermain kelak dengan gubuk kecilnya. Konflik memuncak selepas ia mengujungi anaknya dan dijemput oleh empat orang pengawas dari istana. Saat ia sedang bertugas seperti biasanya, tiba-tiba anjing-anjing istana menggonggong luar biasa karena mencium bau darah. Dari pintu gerbang tokoh “Aku” melihat tiga orang cecunguk istana membawa Dewi, namun dia hanya bisa berdiri lemas dan memandangi anaknya dibawa oleh cecenguk istana. Dewi dibawa masuk ke ruangan istana dan berjalan mendekati teras. Hanya rasa kesedihan dan kekecewaan yang ada pada tokoh “Aku” melihat Dewi anaknya di bawa ke istana, karena tiga hari lagi Rabu Kliwon, malam yang penuh misteri bagi kehidupan istana.

Telaah Citra Perempuan dan Kritik

            Kita dapat menemukan banyak kesamaan yang terdapat lima cerpen karya Shoim Anwar. Termasuk dalam citra perempuan, bagaimana pengarang menggambarkan tokoh perempuan dalam masing-masing cerpen begitu beragam. Pada cerpen Sorot Mata Syaila, pengarang secara tangkas mampu menggambarkan fisik seorang perempuan bernama Syaila. Tokoh Syaila dipandang dalam sisi peran di dalam masyarakat, sebagai makhluk sosial tentunya perbincangan antara pria dan perempuan menggundang adanya perasaan. Hal itu terjadi dalam cerpen tersebut, Syaila yang tidak malu tertidur di dada tokoh utama yang bernama Matalir. Dari segi interpretasi, tokoh perempuan bernama Syaila merupakan sosok yang memberikan pencerahan kepada tokoh utama Matalir. Terlebih lagi latar belakang Matalir yang merupakan buronan Lembaga Korupsi Indonesia menghalakan segala cara untuk bisa kabur dari penangkapan. Hal tersebut dapat kita ketahui dari pengejaran Matalir terhadap Syaila di sebuah lorong-lorong gelap bandara. Pada akhir pengejarannya tokoh utama seakan diperlihatkan gambaran akan kedua istri dan empat orang anaknya yang tergantung mati seperti kambing yang digantung. Citra fisis tokoh perempuan Syaila yakni memakai gaun panjang terusan berwarna hitam, memiliki bulu-bulu panjan di lengannya, dan juga memiliki kuku-kuku yang dipotong meruncing berwarna merah muda. Hal tersebut menandakan bahwa pengarang menggambarkan tokoh tersebut dewasa.

            Namun hal tersebut berkebalikan dengan penggambaran citra perempuan pada tokoh istri pak lurah. Dalam cerpen Tahi lalat, istri pak lurah dalam perannya di masyarakat justru dipandang sebagai perempuan yang buruk karena kedekatannya dengan bos proyek perumahan. Hal lain adalah istri pak lurah didesa-desukan karena dadanya yang besar. Dalam kehidupan nyata, perempuan yang memiliki dada yang besar dan indah kerapkali dipandang sterotip sebagai perempuan yang penggoda dan memiliki nafsu besar. Namun tokoh istri pak lurah dari segi citra psikis, ia berusaha untuk tidak mendengar mengenai rumor dadanya, dan bahkan justru ia menyapa basa-basi kepada para warga pria yang berkrumun.

Sedangkan pada cerpen Sepatu Jinjit Aryanti, tokoh Aryanti memiliki citra fisis sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dan lincah. Kulitnya cerah, hidung cenderung kecil tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan belahan di tengah. Hal tersebut menandakan perannya sebagai perempuan dewasa. Dalam perannya di masyarakat, Aryanti melakukan hubungan mesrah denga tokoh utama dan terlihat pada framen di hotel dan di pesawat sewaktu ke Balikpapan, Aryanti menggelot manja kepada tokoh utama. Dapat disimpulkan bahwa perempuan akan selalu membutuhkan perlindungan dari laki-laki.

Citra perempuan dalam perannya di masyarakat yang menujukan superpower adalah penggambaran tokoh utama yakni  Anik. Sebagai seorang perempun, Anik dikatakan sebagai sosok yang pemberani karena melawan tokoh Bambi. Anik bermaksud melabrak Bambi karena telah merasa dibohongi di pengadilan. Dalam Hal ini terlihat jelas bahwa Anik memiliki citra psikis yang kuat karena berani menantang Bambi yang merupakan seorang Hakim dalam pengadilan. Namun usahanya tersebut sia-sia, Bambi berhasil lepas karena Anik dilerai oleh pihak keamanan sewaktu pertengkaran terjadi.

Citra fisis sebagai seorang anak perempuan terdapat pada cerpen Jangan ke Istana Anakku. Dewi becritra fisis sebagai seorang perempuan masih berumur remaja . Dewi berumur limas belas tahun yang memiliki wajah mirip ibunya, kulitnya bersih, cerdas, lincah, dan gemar memakai celana pendek serta memabawa alat di genggamannya. Dalam perannya di keluarga, Dewi tidak memiliki kekuatan dan terbentuk aturan keluarga, bahwa anak harus patuh terhadap ayahnya.Citra psikis yang ada pada Dewi yakni memiliki watak manja karena ingin sekali diajak ke Istana oleh ayahnya. Namun hal tersebut ditolak karena ayahnya tidak ingin anak gadisnya ditumbalkan. Namun pada akhirnya Dewi dibawa oleh cecunguk kerajaan ke istana.

Dalam aspek sosial, citra perempuan pada lima cerpen tersebut, memiliki hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan sebatas teman, dari hubungan keluarga, hubungan sebagai warga masyarakat, dan hubungan sebagai rekan kerja. Dari hubungan-hubungan tersebut tetap saja, perempuan masih terbelenggu superioritas lajki-laki. Baker (Nurhadi, 2013:85) mengatakan bahwa perempuan dalam kehidupan sosial, Sebagian besar masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan masih dalam belenggu budaya patriarki, dimana kekuasaan masih didominasi oleh laki-laki.

Pada akhirnya, dari kelima cerpen tersebut dapat kita liahat bagaimana penggambaran tokoh perempuan yang masih terikat oleh superioritas lelaki. Meskipun dalam cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, dimana tokoh utama yakni Anik memiliki keberanian namun masih tetap kalah. Terlihat jelas bahwa pengarang, Shoim Anwar meletakan perempuan dalam cerpen tersebut sebagai sosok yang masih membutuhkan perempuan. Kritikan tersebut mungkin dapat dijadikan masukan untuk memberikan ruang terhadap tokoh perempuan sebagai sosok yang kuat dari kacamata feminism. Apabila kritikan tersebut dapat diterima, mungkin menjadi gebrakan dan angin segar bagi seorang pengarang pria dalam dinamika kesusastraan Indonesia yang memberikan ruang kepada perempuan menjadi sosok yang kuat. Terlebih lagi dalam era society 5.0 di 2021 sekarang, makna yang diberikan akan tertuju oleh para pembaca akan dapat masuk sebagai sebuah pembelajaran agar lebih menghormati perempuan. Sehingga melalui sastra kita bisa menekan kasus-kasus patriarki atau kekerasan terhadap perempuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra dan Anggota IKAPI.

Baker, Chris diterjemahkan oleh Nurhadi. 2013. Cultural Studies. Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Umum.

 

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

  Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.   Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengaran...