M. Shoim Anwar
Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah
Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia
panutan para kawula dari awal kisah
ia adalah cagak yang tegak
tak pernah silau oleh gebyar dunia
tak pernah ngiler oleh umpan penguasa
tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah
marwah digenggam hingga ke dada
tuturnya indah menyemaikan aroma bunga
senyumnya merasuk hingga ke sukma
langkahnya menjadi panutan bijaksana
kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai pengumpul suara
atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan ulama
Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin menghaturkan sembah
semua diterima dengan senyum mempesona
jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh langkah
Penghujung Desember 2020
Desember 2020
Sebuah karya sastra, seperti puisi tentu mempunyai unsur-unsur pembangun agar dapat menjadi puisi yang indah. Unsur-unsur pembangun puisi merupakan faktor puisi yang membentuknya dari dalam dan dari luar sehingga akhirnya bisa menjadi puisi yang indah. Terdapat dua jenis unsur pembangun puisi yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur Intrinsik adalah unsur yang terdapat di dalam karya sastra sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang terdapat di luar karya sastra. Puisi kali ini akan dikaji dan dikritik dengan unsur ekstrinsik.
Unsur sosial sangat erat kaitannya dengan kondisi masyarakat pada saat puisi dibuat. Puisi tersebut dibuat pada saat Indonesia sedang mengalami pandemi covid 19. Banyak orang yang kesulitan di bidang ekonomi, dan banyak orang yang juga memanfaatkan situasi ini. Ketika beberapa orang melakukan segala cara untuk mendapatkan harta atau kekuasaan, ternyata masih ada ulama yang jujur, yang tulus. Padahal tidak sedikit para ulama menjadikan ayat-ayat suci sebagai bahan jualan. hal ini terbukti pada bait ketiga
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai pengumpul suara
atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan ulama
Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin menghaturkan sembah
semua diterima dengan senyum mempesona
jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh langkah
Pada bait tersebut dapat dimaknai Ulama Abiyasa mengatakan kepada para penguasa agar tidak menemui seorang ulama dengan meminta menjadi pendukung untuk berkuasa. Ulama Abiyasa menginginkan seseorang menemuinya untuk meminta arahan agar menjadi pemimpin yang hebat. Agar menjadi pemimpin yang dapat menepati janjinya. Tak heran jika Ulama Abiyasa menginginkan hal itu. Pasalnya beberapa ulama malah mendukung calon pemimpin yang tidak benar agar dia mendapatkan uang