Sulastri dan Empat
Lelaki
Oleh
M. Shoim Anwar
Unsur intrinsik
dalam novel ataupun cerpen merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra
itu sendiri. Kepaduan antar berbagai unsur tersebut, akhirnya membangun inti
cerita. Dalam mengkritik cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, saya akan
mengkritik dari beberapa segi unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Pertama, alur atau
plot menjadi kerangka dasar suatu tindakan yang bertalian satu sama lain dalam
sebuah cerita novel ataupun cerpen. Umumnya, plot novel ataupun cerpen tidaklah
sederhana karena pengarang menyusunnya berdasarkan kaitan sebab akibat. Alur
yang digunakan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki adalah alur maju
dan mundur. Dalam cerita tersebut Sulastri mengingat peristiwa kehidupannya
selama di Solo. Seperti pada kutipan berikut “ Di bibir Laut Merah,
Sulastri teringat ketika tercenung di
tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah
Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada
seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan
istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama
Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi
Bengawan Solo”.
Kedua, sudut
pandang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam cerita. Pengarang akan
mengklasifikasikan pencerita atau tokoh yang menyampaikan cerita, melalui sudut
pandang orang pertama, maupun sudut pandang orang ketiga. Menurut Lubbock
(1965: 251 -257) sudut pandang merupakan hubungan antara tempat pencerita
berdiri dan ceritanya; dia ada di dalam atau di luar cerita. Hubungan tersebut
ada dua macam, yaitu hubungan pencerita diaan dengan ceritanya dan hubungan pencerita
akuan dengan ceritanya
Sudut pandang yang
digunakan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki adalah sudut pandang
orang ketiga serba tahu. Hal ini dikarenakan penulis menggunakan nama untuk
menceritakan kisahnya, seperti Sulastri, Fir’aun, Polisi, dan menggunakan kata
ganti “ia”. Selain itu, karena pengarang
mengetahui berbagai hal mengenai tokoh, tindakan, peristiwa, serta motivasi
yang melatarbelakangi setiap tindakan tokoh. Pengarang juga tidak terbatas
hanya pada satu tokoh, tetapi dapat berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya,
sehingga tidak hanya terdapat satu tokoh “dia”. Pengarang dapat berkomentar dan
memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkan. Seperti pada
teks “Sulastri mendapati dirinya
bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia
bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut
luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh
dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya
melengking ke telinga Sulastri”.
Ketiga, amanat
merupakan pesan moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca. Amanat dapat disampaikan secara implisit ataupun eksplisit. Secara
implisit berarti, amanat sifatnya tersirat atau tidak langsung. Biasanya,
pembaca dapat mengambil amanat cerita dari, tingkah laku tokoh menjelang cerita
pada novel ataupun cerpen berakhir. Sementara amanah yang bersifat eksplisit
berarti pengarang di tengah ataupun akhir cerita menyampaikan seruan, saran,
peringatan, nasihat, ujaran, larangan, dan sebagainya secara langsung. Sehingga,
pembaca tidak perlu menganalisis lagi amanat cerita dalam novel ataupun cerpen
yang sebenarnya.
Amanat pada cerpen
Sulastri dan Empat Lelaki disampaikan secara implisit atau tersirat yang
artinya amanat itu tidak terdapat dalam teks cerpen. Dalam mencari amanat yang
seperti ini, pembaca harus membaca dengan teliti dan menyimpulkan sendiri
amanatnya. Amanat yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah meskipun kita
orang miskin, hidup di negeri sendiri lebih tenang daripada hidup di negeri orang,
apalagi bekerja sebagai budak atau pembantu. Tidak semua orang asing itu baik dan
tidak semuanya juga jelek. Jika tidak beruntung, maka hidup kita akan seperti
Sulastri, dikejar-kejar orang dan ingin pulang rasanya sulit.
Selain unsur
intrinsik, sebuah novel juga memiliki unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik
merupakan unsur-unsur pembentuk novel yang berada di luar novel tersebut. Hal ini
dilakukan supaya kita bisa lebih memahami makna cerita yang terkandung dalam
sebuah novel, karena proses penciptaan novel turut dipengaruhi kondisi-kondisi
tertentu yang ada saat novel tersebut ditulis oleh pengarangnya.
Pertama, latar
belakang masyarakat saat novel ditulis oleh pengarang turut memengaruhi novel
tersebut karena faktor-faktor yang ada dalam lingkungan masyarakat tempat
pengarang hidup turut memengaruhi pemikiran pengarang dan, dengan demikian,
turut memengaruhi karya-karyanya. Latar belakang masyarakat ini dapat berupa
ideologi, kondisi politik, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial.
Ideologi negara
tempat pengarang hidup turut memengaruhi novel yang ditulisnya karena dua hal.
Pertama, bisa saja novel yang ditulis seorang pengarang selaras atau sesuai
dengan ideologi negaranya karena ia menyetujui dan menganut ideologi tersebut.
Kedua, bisa saja novel yang ditulis oleh seorang pengarang tidak selaras atau berbeda
dengan ideologi negaranya. Oleh karena itu, novel yang ditulis oleh pengarang
tersebut mengandung kritik-kritik terhadap ideologi yang dianut negaranya,
sesuai dengan ideologi yang dianut oleh pengarangnya.
Pada novel Sulastri
dan Empat Lelaki terlihat gambaran ideologi yang terdapat di Arab Saudi.
Polisi disana tidak akan menangkap warga asing tanpa adanya imbalan. Para budak
disana jika ingin dipulangkan ke negaranya maka ia harus membayar polisi dan
perantara. Ketika sudah membayar, polisi akan segera melakukan penangkapan yang
direncanakan dan membawanya ke kedutaan untuk mendapatkan surat deportasi. Hal
ini dibuktikan pada teks “Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa
imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin
menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman
senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia
harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real
per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para
perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang
yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi
akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi
akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi.
Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya,
ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka
lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.”
Pengarang yang
baik akan bersikap kritis terhadap kondisi politik negaranya. Oleh karena itu,
novel yang ditulisnya akan menjadi sebuah respon atau kritik terhadap kondisi
politik yang terjadi di negaranya. Contohnya novel Saman dan Larung karya Ayu
Utami, kedua novel tersebut mengkritik kondisi politik Orde Baru yang otoriter
dan represif.
Pada novel Sulastri
dan Empat Lelaki menyinggung politik yang ada di Indonesia. Di sana
dijelaskan bahwa masyarakat hanya dibutuhkan ketika pemilu. Setelah pemilu
selesai, maka tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib masyarkatnya. Itu
dikarenakan para pemimpin yang serakah, yang tidak adil kepada masyarakatnya,
yang lupa dengan janji-janjinya ketika pemilu. Hal ini dibuktikan pada
percakapan Sulastri dengan Musa “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.” “Di
negerimu keadilan telah jadi slogan.” “Tolonglah saya, Ya Musa.” “Para pemimpin
negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu
kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
Kondisi ekonomi
ini juga turut memengaruhi lahirnya novel. Sebuah novel bisa menggambarkan
kondisi ekonomi sebuah negara pada suatu waktu dan lokasi tertentu, sesuai
dengan cerita yang terkandung di dalamnya. Pada novel Sulastri dan Empat
Lelaki dapat dilihat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat itu sangat
kekurangan. Markam dan Sulastri harus hidup dengan kemelaratan, ditambah
Markam, suami Sulastri tidak bekerja. Ia hanya bertapa sepanjang hari tanpa ada
hasilnya. Sulastri bahkan menjadi budak di Arab Saudi karena ditelantarkan
suaminya. Hal ini dibuktikan pada teks “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa
Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan
anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan
untuk aku dan anak-anak!”
Kedua, latar
belakang pengarang juga turut memengaruhi novel yang ditulisnya karena biasanya
menggambarkan pandangan atau pemikiran penulis mengenai masalah-masalah yang ia
ceritakan dalam novelnya. Dengan mempelajari latar belakang pengarang, kita
juga jadi bisa mengetahui motivasi pengarang saat menulis novelnya. Latar
belakang pengarang ini mencakup beberapa faktor, yaitu riwayat hidup pengarang,
kondisi psikologis pengarang, aliran sastra pengarang.
Riwayat hidup
pengarang merupakan biografi pengarang tersebut secara keseluruhan. Dengan
mempelajari riwayat hidup pengarang, kita bisa menganalisa faktor apa saja yang
memengaruhi pandangan dan jalan pikir pengarang mengenai novel yang ia tulis
berdasarkan pengalaman-pengalaman hidupnya.
Riwayat hidup penulis
novel Sulastri dan Empat Lelaki adalah sebagai berikut, M. Shoim Anwar
lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota
kelahirannya, dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian diteruskan ke Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya untuk S-2 dan S-3. Dia pernah mengajar di SD, SMP,
SMA, dan Perguan Tinggi. Dia juga pernah mengasuh acara sastra di radio (RKPD Jombang),
anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, ketua komite Sastra Dewan
Kesenian Jawa Timur, dan redaktur majalah kebudayaan Kali Mas dan Kidung. Di
samping mengajar, Shoim banyak menulis di berbagai media massa, menjadi
pembicara dan membacakan cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air,
termasuk di TIM Jakarta.
Shoim tiga kali
berturut-turut menjadi juara pada lomba menulis cerpen yang diadakan Dewan
Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990), dan beberapa kali menjuarai lomba penulisan cerpen dan esai
yang diadakan Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007), serta mendapatkan
Penghargaan Seni dari Gubernur Jawa Timur (2008). Cerpen-cerpennya dimuat dalam
antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari
Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D. Zawawi
Imron, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (editor Korrie Layun
Rampan), dll. Kumpulan cerpen Shoim yang telah terbit adalah Oknum (Gaya
Masa,1992), Musyawarah Para Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau Walikota (ed.,
Surabaya Post, 1993), dll.
Kondisi psikologis
pengarang saat ia menulis novel juga turut memengaruhi cerita yang ia buat.
Suasana hati pengarang saat menulis sebuah novel biasanya akan tergambar pula
dalam novel yang ia tulis. Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki, terlihat
suasana hati penulis pada saat itu adalah amarah karena melihat masyarakat pada
saat itu tidak menerima keadilan dari negaranya, sampai harus menjadi budak di
negri orang. Hal ini disebabkan karena politik di Indonesia yang sangat tidak
adil. Tidak hanya sekali penulis menyindir politik di Indonesia. Pada karyanya
yang lain seperti puisi Dursasana Peliharaan Istana, Ulama Durna Ngesot ke
Istana, juga mengandung unsur sindiran yang ditujukan pada ideologi dan politik
di Indonesia.
Aliran sastra ini
akan memengaruhi bentuk dan gaya kepenulisan pengaran dalam novelnya. Oleh
karena itu, bila kita mempelajari aliran sastra yang dianut pengarang, akan lebih
mudah memahami makna novel yang ditulisnya. Dalam beberapa karya penulis yang
sudah pernah saya baca, makan saya menyimpulkan bahawa aliran sastra yang
dianut penulis adalah Determinisme, yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan
suatu peristiwa atau kejadian dari sisi jeleknya saja. Biasanya menyoroti pada
ketidakadilan, penyelewengan dan lain-lain yang dianggap kurang baik oleh pengarang.