Sabtu, 24 April 2021

Sulastri dan Empat Lelaki

 

Sulastri dan Empat Lelaki

Oleh

M. Shoim Anwar

Unsur intrinsik dalam novel ataupun cerpen merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kepaduan antar berbagai unsur tersebut, akhirnya membangun inti cerita. Dalam mengkritik cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, saya akan mengkritik dari beberapa segi unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Pertama, alur atau plot menjadi kerangka dasar suatu tindakan yang bertalian satu sama lain dalam sebuah cerita novel ataupun cerpen. Umumnya, plot novel ataupun cerpen tidaklah sederhana karena pengarang menyusunnya berdasarkan kaitan sebab akibat. Alur yang digunakan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki adalah alur maju dan mundur. Dalam cerita tersebut Sulastri mengingat peristiwa kehidupannya selama di Solo. Seperti pada kutipan berikut “ Di bibir Laut Merah, Sulastri  teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo”.

Kedua, sudut pandang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam cerita. Pengarang akan mengklasifikasikan pencerita atau tokoh yang menyampaikan cerita, melalui sudut pandang orang pertama, maupun sudut pandang orang ketiga. Menurut Lubbock (1965: 251 -257) sudut pandang merupakan hubungan antara tempat pencerita berdiri dan ceritanya; dia ada di dalam atau di luar cerita. Hubungan tersebut ada dua macam, yaitu hubungan pencerita diaan dengan ceritanya dan hubungan pencerita akuan dengan ceritanya

Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini dikarenakan penulis menggunakan nama untuk menceritakan kisahnya, seperti Sulastri, Fir’aun, Polisi, dan menggunakan kata ganti “ia”. Selain itu,  karena pengarang mengetahui berbagai hal mengenai tokoh, tindakan, peristiwa, serta motivasi yang melatarbelakangi setiap tindakan tokoh. Pengarang juga tidak terbatas hanya pada satu tokoh, tetapi dapat berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya, sehingga tidak hanya terdapat satu tokoh “dia”. Pengarang dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkan. Seperti pada teks “Sulastri  mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri”.

 

Ketiga, amanat merupakan pesan moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat dapat disampaikan secara implisit ataupun eksplisit. Secara implisit berarti, amanat sifatnya tersirat atau tidak langsung. Biasanya, pembaca dapat mengambil amanat cerita dari, tingkah laku tokoh menjelang cerita pada novel ataupun cerpen berakhir. Sementara amanah yang bersifat eksplisit berarti pengarang di tengah ataupun akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, ujaran, larangan, dan sebagainya secara langsung. Sehingga, pembaca tidak perlu menganalisis lagi amanat cerita dalam novel ataupun cerpen yang sebenarnya.

Amanat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki disampaikan secara implisit atau tersirat yang artinya amanat itu tidak terdapat dalam teks cerpen. Dalam mencari amanat yang seperti ini, pembaca harus membaca dengan teliti dan menyimpulkan sendiri amanatnya. Amanat yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah meskipun kita orang miskin, hidup di negeri sendiri lebih tenang daripada hidup di negeri orang, apalagi bekerja sebagai budak atau pembantu. Tidak semua orang asing itu baik dan tidak semuanya juga jelek. Jika tidak beruntung, maka hidup kita akan seperti Sulastri, dikejar-kejar orang dan ingin pulang rasanya sulit.

Selain unsur intrinsik, sebuah novel juga memiliki unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur pembentuk novel yang berada di luar novel tersebut. Hal ini dilakukan supaya kita bisa lebih memahami makna cerita yang terkandung dalam sebuah novel, karena proses penciptaan novel turut dipengaruhi kondisi-kondisi tertentu yang ada saat novel tersebut ditulis oleh pengarangnya.

Pertama, latar belakang masyarakat saat novel ditulis oleh pengarang turut memengaruhi novel tersebut karena faktor-faktor yang ada dalam lingkungan masyarakat tempat pengarang hidup turut memengaruhi pemikiran pengarang dan, dengan demikian, turut memengaruhi karya-karyanya. Latar belakang masyarakat ini dapat berupa ideologi, kondisi politik, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial.

Ideologi negara tempat pengarang hidup turut memengaruhi novel yang ditulisnya karena dua hal. Pertama, bisa saja novel yang ditulis seorang pengarang selaras atau sesuai dengan ideologi negaranya karena ia menyetujui dan menganut ideologi tersebut. Kedua, bisa saja novel yang ditulis oleh seorang pengarang tidak selaras atau berbeda dengan ideologi negaranya. Oleh karena itu, novel yang ditulis oleh pengarang tersebut mengandung kritik-kritik terhadap ideologi yang dianut negaranya, sesuai dengan ideologi yang dianut oleh pengarangnya.

Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki terlihat gambaran ideologi yang terdapat di Arab Saudi. Polisi disana tidak akan menangkap warga asing tanpa adanya imbalan. Para budak disana jika ingin dipulangkan ke negaranya maka ia harus membayar polisi dan perantara. Ketika sudah membayar, polisi akan segera melakukan penangkapan yang direncanakan dan membawanya ke kedutaan untuk mendapatkan surat deportasi. Hal ini dibuktikan pada teks “Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.”

Pengarang yang baik akan bersikap kritis terhadap kondisi politik negaranya. Oleh karena itu, novel yang ditulisnya akan menjadi sebuah respon atau kritik terhadap kondisi politik yang terjadi di negaranya. Contohnya novel Saman dan Larung karya Ayu Utami, kedua novel tersebut mengkritik kondisi politik Orde Baru yang otoriter dan represif.

Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki menyinggung politik yang ada di Indonesia. Di sana dijelaskan bahwa masyarakat hanya dibutuhkan ketika pemilu. Setelah pemilu selesai, maka tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib masyarkatnya. Itu dikarenakan para pemimpin yang serakah, yang tidak adil kepada masyarakatnya, yang lupa dengan janji-janjinya ketika pemilu. Hal ini dibuktikan pada percakapan Sulastri dengan Musa “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.” “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.” “Tolonglah saya, Ya Musa.” “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

Kondisi ekonomi ini juga turut memengaruhi lahirnya novel. Sebuah novel bisa menggambarkan kondisi ekonomi sebuah negara pada suatu waktu dan lokasi tertentu, sesuai dengan cerita yang terkandung di dalamnya. Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki dapat dilihat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat itu sangat kekurangan. Markam dan Sulastri harus hidup dengan kemelaratan, ditambah Markam, suami Sulastri tidak bekerja. Ia hanya bertapa sepanjang hari tanpa ada hasilnya. Sulastri bahkan menjadi budak di Arab Saudi karena ditelantarkan suaminya. Hal ini dibuktikan pada teks “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Kedua, latar belakang pengarang juga turut memengaruhi novel yang ditulisnya karena biasanya menggambarkan pandangan atau pemikiran penulis mengenai masalah-masalah yang ia ceritakan dalam novelnya. Dengan mempelajari latar belakang pengarang, kita juga jadi bisa mengetahui motivasi pengarang saat menulis novelnya. Latar belakang pengarang ini mencakup beberapa faktor, yaitu riwayat hidup pengarang, kondisi psikologis pengarang, aliran sastra pengarang.

 

 

Riwayat hidup pengarang merupakan biografi pengarang tersebut secara keseluruhan. Dengan mempelajari riwayat hidup pengarang, kita bisa menganalisa faktor apa saja yang memengaruhi pandangan dan jalan pikir pengarang mengenai novel yang ia tulis berdasarkan pengalaman-pengalaman hidupnya.

Riwayat hidup penulis novel Sulastri dan Empat Lelaki adalah sebagai berikut, M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian diteruskan ke Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya untuk S-2 dan S-3. Dia pernah mengajar di SD, SMP, SMA, dan Perguan Tinggi. Dia juga pernah mengasuh acara sastra di radio (RKPD Jombang), anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, ketua komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, dan redaktur majalah kebudayaan Kali Mas dan Kidung. Di samping mengajar, Shoim banyak menulis di berbagai media massa, menjadi pembicara dan membacakan cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air, termasuk di TIM Jakarta.

Shoim tiga kali berturut-turut menjadi juara pada lomba menulis cerpen yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990), dan beberapa kali  menjuarai lomba penulisan cerpen dan esai yang diadakan Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007), serta mendapatkan Penghargaan Seni dari Gubernur Jawa Timur (2008). Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D. Zawawi Imron, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), dll. Kumpulan cerpen Shoim yang telah terbit adalah Oknum (Gaya Masa,1992), Musyawarah Para Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau Walikota (ed., Surabaya Post, 1993), dll.

Kondisi psikologis pengarang saat ia menulis novel juga turut memengaruhi cerita yang ia buat. Suasana hati pengarang saat menulis sebuah novel biasanya akan tergambar pula dalam novel yang ia tulis. Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki, terlihat suasana hati penulis pada saat itu adalah amarah karena melihat masyarakat pada saat itu tidak menerima keadilan dari negaranya, sampai harus menjadi budak di negri orang. Hal ini disebabkan karena politik di Indonesia yang sangat tidak adil. Tidak hanya sekali penulis menyindir politik di Indonesia. Pada karyanya yang lain seperti puisi Dursasana Peliharaan Istana, Ulama Durna Ngesot ke Istana, juga mengandung unsur sindiran yang ditujukan pada ideologi dan politik di Indonesia.

Aliran sastra ini akan memengaruhi bentuk dan gaya kepenulisan pengaran dalam novelnya. Oleh karena itu, bila kita mempelajari aliran sastra yang dianut pengarang, akan lebih mudah memahami makna novel yang ditulisnya. Dalam beberapa karya penulis yang sudah pernah saya baca, makan saya menyimpulkan bahawa aliran sastra yang dianut penulis adalah Determinisme, yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian dari sisi jeleknya saja. Biasanya menyoroti pada ketidakadilan, penyelewengan dan lain-lain yang dianggap kurang baik oleh pengarang.

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 17 April 2021

Di Jalan Jabal Al-Kaabah

M. Shoim Anwar

 Di Jalan Jabal Al-Kaabah


Sinopsis

    Kisah sepasang suami-istri bernama Tuan Amali dan Nyonya Tilah yang sedang melaksanakan ibadah haji. Tuan Amali dijuluki sebagai lurah pengemis karena ia menjabat sebagai lurah di desa yang kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai pengemis. Pada saat ibadah haji, Tuan Amali memergoki pengemis disana yang rela berbohong dengan pura-pura buntung agar orang yang melihat merasa kasihan dan memberikan banyak uang. Tidak hanya itu, Tuan Amali juga bertemu dengan pengemis yang tidak bukan adalah rakyat di desanya sendiri yang bernama Pak Dotil. Ternyata selain pergi haji, Pak Dotil juga mengemis di tanah suci meskipun dia mempunyai banyak uang. Bekerja sebagai pengemis akan tetap merasa miskin meskipun sudah mempunyai uang yang banyak.

Tanggapan

   Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebgai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri. ( Wellek, melalui Wiyatmi, 2006:87).

    Novel "Di Jalan Jabal Al-Kaabah" berlatar di kota Makkah. Pada umumnya setting difokuskan di jalanan dimana banyak pengemis dan orang berjualan. Dengan alur penceritaan maju dan mundur. Alur mundur pada saat penulis menceritakan bahwa Tuan Amali adalah seorang lurah yang masyarakatnya menjadi pengemis semua. 

    Secara keseluruhan gaya penceritaan cerpen ini memiliki keseimbangan antara gaya bahasa yang lugas dan penggunaan majas. Meskipun penggunaan makna kias cukup banyak tetapi bahasa dalam cerpen tersebut dapat dipahami. Makna dan pesan mudah dicerna karena bahasanya sederhana dan menarik. Makna dari cerpen tersebut adalah menjadi pengemis akan membuat hidupnya didera dengan kemiskinan. Meskipun harta mereka sudah cukup mereka akan merasa tetap miskin sehingga menjadi pengemis selama hidupnya.


Minggu, 11 April 2021

Tahi Lalat

 Tahi Lalat

Dapat dibaca di https://lakonhidup.com/2017/02/19/tahi-lalat/

Sinopsis:    

    Cerpen tersebut mengisahkan seorang bu lurah yang di dadanya terdapat tahi lalat. Hal itu yang menyebabkan Bu lurah digunjing oleh masyarakat setiap hari. Meski mengetahui itu semua, Pak lurah dan istrinya hanya terdiam. Mereka diam karena ingin masyarkat memilihnya pada saat pencalonan lurah baru. Namun, hingga akhir cerita tidak ada yang tahu pasti apakah tahi lalat itu benar-benar ada atau tidak.

    Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam memandang dan mengkaji karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan luapan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imaginasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. (Wiyatmi, 2006:82).

    Cerpen Tahi Lalat tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kehiduapan M. Shoim Anwar. Shoim Anwar lahir di Desa Sombong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah dosen dan  penulis serba bisa. Banyak cerpen, puisi, novel, dan buku yang ditulis oleh beliau. Beberapa diantaranya adalah Oknum (1992), Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup (2016), Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah (2004), dan masih banyak lagi.

    M. Shoim Anwar adalah sosok yang enerjik dan kreatif. Semua karya tulisnya dalam bentuk beberapa dimensi. Beberapa puisi beliau adalah sindirian untuk pejabat negara. Sedangkan novelnya biasanya menceritakan tentang hal-hal yang dewasa, seperti cerpen Tahi Lalat dan Sepatu Jinjit Ariyanti


Kamis, 01 April 2021

Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup

Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup

Dapat dibaca di https://basabasi.co/sisik-naga-di-jari-manis-gus-usup/

    Pendekatan pragmatik mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan atau ajaran moral, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, semakin tinggi nilai karya tersebut (Wiyatmi, 2006:86)

    Pada dasranya novel ini sarat dengan nilai-nilai moral. Gus Usup dipandang sebagai seseorang yang terhormat. Ia sangat dihormati oleh masyarakat disekitarnya bahkan dijadikan sebagai panutan. Hal itu dikarenakan karena sikap Gus Usup yang sangat baik ke semua orang dan ia mempunyai akik sisik naga. Akik itu selalu membawa keberuntungan ketika Gus Usup sedang bermain kartu. Meskipun Gus Usup mempunyai privilege, tetapi dia tidak sombong bahkan ia membagikan uang taruhannya ke teman-teman yang sudah tidak mempunyai uang.

    Dari novel tersebut kita banyak belajar bagaimana cara menghormati orang lain. Selain itu, kita diajarkan agar tidak sombong meskipun mendapatkan hak istimewa.

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

  Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.   Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengaran...