Mashuri
Puisi
Hantu Kolam
: plung!
di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang
mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama
segalangnya dingin,
serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
Kmungkin…
“plung!”
aku pernah
mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak
Banyuwangi,
2012-12-03
Dalam puisi hantu kolam terdapat sisi kegelisahan
yang dialami oleh tokoh aku. Hal ini ditunjukkan pada bait puisi kedua “aku pernah mendengar suara itu. tapi terlalu purba untuk
dikenang sebagai batu”. Kegelisahan yang dialami tokoh aku mungkin karena ia pernah
berbuat kesalahan di masa lalu yang membuat dia tidak melupakan kenangan itu.
Gaya bahasa yang diberikan oleh
Mashuri dalam puisi tersebut adalah personifikasi seperti yang digambarkan pada
larik “mataku berenang, bersama ikan-ikan”. Majas personifikasi adalah
pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu
yang bukan manusia. Pada larik “mataku berenang, bersama ikan-ikan” mempunyai
arti mata dari tokoh aku sedang melihat ke air yang dipenuhi oleh ikan-ikan.
Sementara itu, dalam puisi hantu
kolam karya Mashuri memberikan pencitraan auditif, yakni pengimajian dengan
menggunakan kata-kata ungkapan seolah-olah objek yang dicitrakan
sungguh-sungguh didengar oleh pembaca. Hal itu terdapat pada larik “aku pernah
mendengar suara itu”.
Mashuri
Hantu Musim
aku hanya musim
yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa
bila aku hujan, itu
adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh
di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…
Magelang, 2012
Dalam puisi hantu musim
terdapat sisi kesedihan yang dialami oleh tokoh aku. Hal ini ditunjukkan pada
bait puisi kedua “pertama atau keseribu,
kerna di situ, aku mampu”. Kesedihan yang dialami
tokoh aku karena ia ingin kembali mengulang kisah cintanya dengan kekasihnya,
tetapi hal itu tidak mungkin terjadi. Penggunaan diksi musim menjelaskan bahwa
tokoh aku tidak mungkin melupakan kekasihnya meskipun musim terus berganti.
Sedangkan dalam puisi hantu musim
terdapat gaya bahasa simile seperti yang digambarkan pada larik “di situ, aku
panas, sekaligus dingin, sebagaimana unggas yang pernah kita lihat”. Majas
Simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan
kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, dll. Pada
larik “di situ, aku panas, sekaligus dingin, sebagaimana unggas yang pernah
kita lihat” mempunyai arti tokoh aku merasakan panas dan dingin seperti unggas
yang pernah ia lihat.
Puisi hantu musim karya Mashuri
terdapat pencitraan taktil, yakni pengimajian dengan menggunakan kata-kata yang
mampu mempengaruhi perasaan pembaca sehingga ikut terpengaruh perasaannya. Hal itu
terdapat pada larik “di situ, aku panas, sekaligus dingin, sebagaimana unggas
yang pernah kita lihat”.
Mashuri
Hantu Dermaga
mimpi, puisi dan
dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal
tapi ritusmu bukan
jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali
Sidoarjo, 2012
Dalam puisi hantu dermaga menggambarkan ingatan
yang dimiliki seseorang tentang perjuangan hidupnya di keadaan yang tidak
memungkinkan, keadaan yang tidak menjamin untuk sukses dengan segala cara yang
sudah ia lakukan. Hal ini dibutktikan pada larik
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki
pantai
telah
berpindah dan waktu pergi
menjaring
darah kembali
Dalam puisi hantu
dermaga terdapat gaya bahasa simile seperti yang digambarkan pada larik “segalanya
mengambang, bak hujan yang kembali”. Majas Simile adalah pengungkapan dengan
perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung,
seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, dll. Pada larik “segalanya
mengambang, bak hujan yang kembali”.
Sementara itu, dalam puisi hantu dermaga
karya Mashuri memberikan pencitraan auditif, yakni pengimajian dengan
menggunakan kata-kata ungkapan seolah-olah objek yang dicitrakan
sungguh-sungguh didengar oleh pembaca. Hal itu terdapat pada larik “mimpi,
puisi dan dongeng, yang terwarta dari pintumu”.