Senin, 31 Mei 2021

Sajak Palsu

   Puisi Agus R. Sarjono

              Sajak Palsu

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998

    Berdasarkan isinya, puisi tersebut memiliki banyak maksud dan sindiran. Sindiran tersebut ditujukan kepada mereka-mereka yang telah memiliki jabatan tinggi, sehingga dimanfaatkan untuk membuat kepalsuan demi tercapainya sebuah kebahagiaan. Namun sebenarnya kebahagiaan tersebut juga kepalsuan karena tidak sesuai dengan yang dijalankan. Apapun akan dipalsukan, mulai dari sekolah, jabatan, pangkat, sistem, hingga kebijakan.

    Berdasarkan isi dan maknanya, puisi tersebut sangat menarik. Hal ini karena selain puisi tersebut memiliki realisme, juga menimbulkan tanda tanya dalam benak pembacanya. Pembaca diajak seolah-olah merasakan mirisnya kepalsuan yang diciptakan demi kebahagiaan yang sebenarnya juga palsu. Apalagi hal tersebut dilakukan demi mendapatkan jabatan, pangkat, dan lain sebagainya.


Minggu, 23 Mei 2021

Peringatan

   Puisi Wiji Thukul 

         PERINGATAN

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!



                  Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa guna punya ilmu

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa gunanya banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu


    Pada puisi pertama, berisi peringatan bahwa rakyat dapat menyuarakan pendapatnya. Peringatan tersebut ditujukan rakyat untuk pemerintah. Pada bait "suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan" mempunyai makna bahwa pemerintah harus menerima kritikan dari rakyatnya.

    Pada puisi kedua, berisi sindiran kepada pemerintah. Sepintar apapun seseorang, jika kepintarannya hanya untuk membodohi orang lain maka ilmu itu tidak ada gunanya. 

Minggu, 16 Mei 2021

Idul Fitri

    Sutardji Calzoum Bachri adalah sastrawan Indonesia yang lahir pada 24 Juni 1941, dan saat ini menginjak usia 79 tahun. Sutardji dijuluki sebagai presiden penyair Indonesia dan merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an. Ia lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Dia juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak bersama K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail, juga diundang Dato Anwar Ibrahim (sewaktu menjabar Menteri Keuangan Malaysia) untuk membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Salah satu puisi yang ditulis oleh beliau adalah berjudul Idul Fitri yang akan saya bahas dalam kritik esai berikut.

 Idul Fitri

                      Puisi  Sutadji Calzoum Bachri


Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya


    Pada bait pertama, penulis sangat menyesali dosa-dosa yang pernah ia buat. Pada bulan ramadhan, bulan yang penuh pengampunan dimanfaatkan beliau dengan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta agar dosa-dosanya dapat diampuni. 


Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa


    Pada bait kedua, penulis sangat bahagia, dan merindukan ibadah kepada Tuhan. Kewajiban dia dengan Tuhan tidak akan pernah dilupakan, seperti sholat, zikir. Hal itu membuat ia merasa kehidupannya yang lalu terasa sia-sia karena baru sekrang dia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.


O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia


    Pada bait ketiga, penulis sangat menyesali perbuatan dosa-dosanya di masa lalu. Dia memohon kepada Tuhan agar tidak dikembalikan pada kondisi seperti itu lagi. Di sisa-sisa usianya penulis ingin memulai hidup yang baru dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.


Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana


    Pada bait keempat, hari kemenangan bagi setiap muslim pun tiba. Hari yang ditunggu-tunggu setahun sekali. Hari yang penuh fitrah, semua umat muslim dalam keadaan suci. Pada pagi hari penulis bersiap untuk melaksanakan sholat idul fitri.


Jumat, 07 Mei 2021

Kumpulan Puisi Mashuri

 

Mashuri

Puisi Hantu Kolam

: plung!

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
Kmungkin…

 

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

 

Banyuwangi, 2012-12-03

            Dalam puisi hantu kolam terdapat sisi kegelisahan yang dialami oleh tokoh aku. Hal ini ditunjukkan pada bait puisi kedua “aku pernah mendengar suara itu. tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu”. Kegelisahan yang dialami tokoh aku mungkin karena ia pernah berbuat kesalahan di masa lalu yang membuat dia tidak melupakan kenangan itu.

            Gaya bahasa yang diberikan oleh Mashuri dalam puisi tersebut adalah personifikasi seperti yang digambarkan pada larik “mataku berenang, bersama ikan-ikan”. Majas personifikasi adalah pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Pada larik “mataku berenang, bersama ikan-ikan” mempunyai arti mata dari tokoh aku sedang melihat ke air yang dipenuhi oleh ikan-ikan.

            Sementara itu, dalam puisi hantu kolam karya Mashuri memberikan pencitraan auditif, yakni pengimajian dengan menggunakan kata-kata ungkapan seolah-olah objek yang dicitrakan sungguh-sungguh didengar oleh pembaca. Hal itu terdapat pada larik “aku pernah mendengar suara itu”.

 

Mashuri

Hantu Musim

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa

 

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

 

di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…

 

Magelang, 2012

            Dalam puisi hantu musim terdapat sisi kesedihan yang dialami oleh tokoh aku. Hal ini ditunjukkan pada bait puisi kedua “pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu”. Kesedihan yang dialami tokoh aku karena ia ingin kembali mengulang kisah cintanya dengan kekasihnya, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi. Penggunaan diksi musim menjelaskan bahwa tokoh aku tidak mungkin melupakan kekasihnya meskipun musim terus berganti.

 

            Sedangkan dalam puisi hantu musim terdapat gaya bahasa simile seperti yang digambarkan pada larik “di situ, aku panas, sekaligus dingin, sebagaimana unggas yang pernah kita lihat”. Majas Simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, dll. Pada larik “di situ, aku panas, sekaligus dingin, sebagaimana unggas yang pernah kita lihat” mempunyai arti tokoh aku merasakan panas dan dingin seperti unggas yang pernah ia lihat.

            Puisi hantu musim karya Mashuri terdapat pencitraan taktil, yakni pengimajian dengan menggunakan kata-kata yang mampu mempengaruhi perasaan pembaca sehingga ikut terpengaruh perasaannya. Hal itu terdapat pada larik “di situ, aku panas, sekaligus dingin, sebagaimana unggas yang pernah kita lihat”.

 

Mashuri

Hantu Dermaga

mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

 

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali

merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali

 

Sidoarjo, 2012

 

Dalam puisi hantu dermaga menggambarkan ingatan yang dimiliki seseorang tentang perjuangan hidupnya di keadaan yang tidak memungkinkan, keadaan yang tidak menjamin untuk sukses dengan segala cara yang sudah ia lakukan. Hal ini dibutktikan pada larik

segalanya mengambang

bak hujan yang kembali

merki pantai

telah berpindah dan waktu pergi

menjaring darah kembali

            Dalam puisi hantu dermaga terdapat gaya bahasa simile seperti yang digambarkan pada larik “segalanya mengambang, bak hujan yang kembali”. Majas Simile adalah pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, dll. Pada larik “segalanya mengambang, bak hujan yang kembali”.

 

            Sementara itu, dalam puisi hantu dermaga karya Mashuri memberikan pencitraan auditif, yakni pengimajian dengan menggunakan kata-kata ungkapan seolah-olah objek yang dicitrakan sungguh-sungguh didengar oleh pembaca. Hal itu terdapat pada larik “mimpi, puisi dan dongeng, yang terwarta dari pintumu”.

 

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

  Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.   Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengaran...