Minggu, 16 Mei 2021

Idul Fitri

    Sutardji Calzoum Bachri adalah sastrawan Indonesia yang lahir pada 24 Juni 1941, dan saat ini menginjak usia 79 tahun. Sutardji dijuluki sebagai presiden penyair Indonesia dan merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an. Ia lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Dia juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak bersama K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail, juga diundang Dato Anwar Ibrahim (sewaktu menjabar Menteri Keuangan Malaysia) untuk membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Salah satu puisi yang ditulis oleh beliau adalah berjudul Idul Fitri yang akan saya bahas dalam kritik esai berikut.

 Idul Fitri

                      Puisi  Sutadji Calzoum Bachri


Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya


    Pada bait pertama, penulis sangat menyesali dosa-dosa yang pernah ia buat. Pada bulan ramadhan, bulan yang penuh pengampunan dimanfaatkan beliau dengan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta agar dosa-dosanya dapat diampuni. 


Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa


    Pada bait kedua, penulis sangat bahagia, dan merindukan ibadah kepada Tuhan. Kewajiban dia dengan Tuhan tidak akan pernah dilupakan, seperti sholat, zikir. Hal itu membuat ia merasa kehidupannya yang lalu terasa sia-sia karena baru sekrang dia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.


O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia


    Pada bait ketiga, penulis sangat menyesali perbuatan dosa-dosanya di masa lalu. Dia memohon kepada Tuhan agar tidak dikembalikan pada kondisi seperti itu lagi. Di sisa-sisa usianya penulis ingin memulai hidup yang baru dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.


Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana


    Pada bait keempat, hari kemenangan bagi setiap muslim pun tiba. Hari yang ditunggu-tunggu setahun sekali. Hari yang penuh fitrah, semua umat muslim dalam keadaan suci. Pada pagi hari penulis bersiap untuk melaksanakan sholat idul fitri.


Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

  Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.   Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengaran...