Sutardji Calzoum Bachri adalah sastrawan Indonesia yang lahir pada 24 Juni 1941, dan saat ini menginjak usia 79 tahun. Sutardji dijuluki sebagai presiden penyair Indonesia dan merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an. Ia lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Dia juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak bersama K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail, juga diundang Dato Anwar Ibrahim (sewaktu menjabar Menteri Keuangan Malaysia) untuk membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Salah satu puisi yang ditulis oleh beliau adalah berjudul Idul Fitri yang akan saya bahas dalam kritik esai berikut.
Idul Fitri
Puisi Sutadji Calzoum Bachri
Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Pada bait pertama, penulis sangat menyesali dosa-dosa yang pernah ia buat. Pada bulan ramadhan, bulan yang penuh pengampunan dimanfaatkan beliau dengan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta agar dosa-dosanya dapat diampuni.
Maka aku girang-girangkan hatiku
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
Pada bait kedua, penulis sangat bahagia, dan merindukan ibadah kepada Tuhan. Kewajiban dia dengan Tuhan tidak akan pernah dilupakan, seperti sholat, zikir. Hal itu membuat ia merasa kehidupannya yang lalu terasa sia-sia karena baru sekrang dia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia
Pada bait ketiga, penulis sangat menyesali perbuatan dosa-dosanya di masa lalu. Dia memohon kepada Tuhan agar tidak dikembalikan pada kondisi seperti itu lagi. Di sisa-sisa usianya penulis ingin memulai hidup yang baru dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana
Pada bait keempat, hari kemenangan bagi setiap muslim pun tiba. Hari yang ditunggu-tunggu setahun sekali. Hari yang penuh fitrah, semua umat muslim dalam keadaan suci. Pada pagi hari penulis bersiap untuk melaksanakan sholat idul fitri.