Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Pada bait pertama, disebutkan bahwa tokoh aku sebenarnya
sudah bangga menjadi orang Indonesia karena negerinya telah berhasil merdeka
atas jerih payah sendiri. Baru merdeka enam tahun saja sudah diakui dunia. Ia
juga memiliki sahabat dari luar negeri yang justru paham betul akan revolusi
Indonesia. Bahkan, juga hafal betul pertempuran Surabaya. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa justru warga negara asing lebih mengerti bagaimana perjuangan
nyata dalam mengartikan sebuah kemerdekaan.
Pada bait kedua, disebutkan bahwa bagaimana bangganya tokoh aku yang mendapat beasiswa pendidikan di luar negeri. Sayangnya, kebanggaan tersebut semakin lama semakin memudar. Pasalnya hakikat kemerdekaan tak dapat dijaga dengan benar oleh warga negara Indonesia. Kini semua akhlak telah dirusak. Hukum-hukum pun mulai direndahkan. Semua aturan dapat dipermainkan. Norma-norma tak lagi dihiraukan. Kini semua telah rusak. Malu rasanya menjadi warga Indonesia yang dengan susah payahnya berjuang untuk merdeka namun telah dirusak segalanya.
Pada bait ketiga, berisikan puncak amarah dari sang penyair. Ia membeberkan bagaimana parahnya sistem pemerintahan di Indonesia. Bagaimana bobroknya sistem birokrasi Indonesia. Mulai dari politik, hukum, kebebasan hak warga negara, hingga urusan sepak bola pun dipalsukan. Wajar memang penyair begitu kecewa dan kesal akan sistem pemerintahan Indonesia karena telah melenceng jauh dari tujuan awal kemerdekaan. Malu rasanya mengingat sang pahlawan memperjuangkan harga dirinya untuk menyejahterakan warganya. Jerih payah yang luar biasa dirusak begitu saja.
Pada bait keempat, menjelaskan bahwa bagaimana malunya penyair melihat keadaan Indonesia yang telah di ujung tanduk. Ia tak menyangka hakikat kemerdekaan mudah saja dipermainkan oleh warga negaranya sendiri. Bahkan ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi namun juga seluruh warga Indonesia. Sungguh mereka yang tak bertanggungjawab tidak memikirkan nasib pahlawannya yang pasti sedih melihat kondisi pemerintahan tak sesuai tujuan awalnya. Sungguh malu rasanya apabila diketahui dunia bahwa warganya tak bisa memegang teguh prinsip kemerdekaan sebenarnya.