Essai
Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.
Sebagai
sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengarang untuk
menyampaikan ide, gagasan, dan kegelisahan batin atas sesuatu yang berhasil ia
rekam. Adanya gejolak dan hasrat dalam diri seorang pengarang akan dengan bebas
dituangkan ke dalam bentuk kata-kata. Walaupun penyampaian cerpen lebih pendek
ketimbang novel, namun dalam segi pemahaman cerpen juga tidak bisa dianggap
remeh atau mudah. Hal tersebut terjadi karena dalam penulisan cerpen, pengarang
tidak dapat membuat ruang lingkup yang lebih besar dalam melukiskan sebuah
fenomena atau aspek yang ada di dalamnya. Akan tetapi cerpen mampu menawarkan
variasi cerita yang begitu kompleks termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Edgar
dalam (Nurgiyantoro, 12:2012) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita
pendek yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira_kira berkisar antara
setengah sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan dalam
sebuah novel.
Permasalahan
yang hadir dalam cerpen, kerapkali tidak terlepas dari kehidupan pengarang.
Adapun permasalahan yang hadir dapat pengarang tangkap dan menjadi bahan baku
dalam proses pembuatan cerita. Sehingga
hal tersebut dapat menjadi alasan bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dari
kehidupan sosial masyarakat (Teew, 1984:185). Adanya makna yang dapat dituai
dan kritik yang hadir di dalamnya menjadikan karya sastra tidak sekadar indah
melainkan bermanfaat. Seperti halnya pada cerpen-cerpen karya Shoim Anwar yang
begitu menarik untuk diulas dari segala sisi. Kepadatan cerita dan keruntutan
jalan cerita yang digambarkan mampu menarik gairah pembacanya. Pembaca
seakan-akan dibuat gemas, terlebih lagi cerpen yang ditulis menyuguhkan jalan
cerita yang menggantung.
Dalam
essai ini, penulis bermaksud melihat citra perempuan dalam lima cerpen karya
Shoim Anwar. Bagaimana penggambaran dan perwatakan seorang perempuan yang
dihadirkan pada cerpennya begitu menarik untuk diulas. Penulis tidak hanya
menyuguhkan telaah dalam bentuk essai melainkan di dalamnya juga terkandung
kritik bagi sang pengarang cerpen. Sehingga tulisan ini dirasa juga bermanfaat
bagi pengarang untuk lebih produktif dan menjadi lebih baik untuk menciptakan
karya sastra selanjutnya terutama cerpen.
Citra
perempuan di dalam sebuah karya sastra kerapkali melahirkan bentuk citra
perempuan yang sama di dalam kehidupan ataupun hal tersebut juga bisa berlaku
sebaliknya. Dalam lima cerpen karya Shoim Anwar yakni, “Sorot Mata Syaila”,
“Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby
Blue”, dan “Jangan Ke Istana Anakku”, penulis menemukan adanya kesamaan, di
mana dalam masing-masing cerpen tersebut, pengarang menghadirkan sesosok tokoh
perempuan sebagai tokoh yang memiliki peran yang penting. Namun sebelum
beranjak pada pembahasan inti mengenai bagaimana citra perempuan pada
masing-masing cerpen tersebut hendaknya kita mengenal apa yang dinamakan
“citra”.
Citra
secara etimologi merupakan penggambaran, angan, atau pikirian. Selain itu citra
atau citraan merupakan visualisasi yang dimiliki banyak orang mengenai pribadi,
kesan, mental, ataupun bayangan yang diciptakan oleh sebuah kata-kata. Citra
merupakan unsur dasar yang khas dalam sebuah karya dasar, baik itu puisi,
cerpen, maupun novel. Banyak dari karya-karya penulis karya sastra yang
menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang beraspek fisis dan psikis. Selain
itu perempuan sebagai makhluk sosial juga tidak terlepas dari aspek keluarga
dan masyarakat. Namun dalam beberapa analisis, kerapkali seorang peneliti
feminisme berlandaskan dari aspek keluarga dan masyarakat. Keduan peran
tersebut tentunya berbeda baik peran di dalam masyarakat maupun peran di dalam
keluarga.
Citra
perempuan yang Shoim Anwar tulis di dalam masing-masing cerpen tersebut juga
bervariasi, namun apabila kita selami lebih dalam setiap cerita pada
masing-masing cerpen tersebut, perempuan yang digambarkan memiliki andil besar
bagi para tokoh utama. Seakan-akan pengarang, yakni Shoim Anwar menggambarkan
perempuan sebagai sesuatu yang lebih. Adanya kesamaan peran dan sangkut paut
dalam jalan cerita yang hampir sama merupakan sebuah temuan yang menarik untuk
diulas. Hal tersebut berkaitan dengan citra fisis, yakni sebuah penggambaran
sosok perempuan di dalam cerita tentang kesamaan kode, sehingga fisik perempuan
tercitrakan dengan mapan dalam realitas. Maka dari itu, meskipun citra fisis
perempuan dalam sebuah karya, yakni cerpen yang sepenuhnya merupakan hasil
kreatif dari sang pengarang, namun kita sebagai pembaca memiliki kesamaan
interpretasi dalam melihat fisik perempuan tersebut.
Kerapkali
di dalam karya sastra perempuan yang digambarkan masih didominasi oleh peran
lelaki. Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan lembut. Hal ini juga terjadi di kehidupan nyata,
perempuan mengalami sterotip, sebagai mahluk yang lemah lembut. Bahkan masih
kerapk ditemui dalam media sosial dan media massa mengenai kasus pelecehan
ataupun kekerasan terhadap perempuan. Terutama pada tahun 2020 terjadi demo
besar mengenai RUU KUHP yang dianggap merugikan perempuan yakni pasal 414
terkait alat kontrasepsi, dan pasal 417 tentang perzinahan dan kohibitasi.
Selain itu pada tahun 2021 terjadi kekerasan seorang perempuan oleh pacarnya
seorang mahasiswa semester 4 di sebuah Universitas swasta ternama di Jakarta.
Perempuan tersebut dianiaya dan diancam untuk disebarkan fotonya oleh pacarnya.
Ruang patriarki di era society 5.0 nampaknya menjadi lebih tragis. Hal ini
tidak jauh berbeda di dalam dunia sastra masih adanya pelemahan mengenai
perempuan sebagai sosok yang masih dipandang sterotip.
Rangkuman
Singkat Masing-masing Cerpen.
Kita
akan berangkat dari jalan cerita masing-masing cerpen karya Shoim Anwar secara
ringkas, agar pembaca awam akan mudah memahami. Tentang Cerpen Sorot Mata
Syaila. Menceritakan mengenai tokoh Bernama “Matalir” yang merupakan buronan
lembaga anti korupsi Indonesia. Berlatar belakang di Bandara Abu Dhabi, tokoh
Matalir bertemu dengan sesosok perempuan cantik yang bernama Syaila. Matalir
bukan tanpa alasan berada di Bandara Abu Dhabi, ia dan keluarganya usai
menunaikan ibadah haji di kota Mekkah dan bermaksud untuk pergi ke luar negeri.
Tokoh perempuan Syaila hendak pergi menuju Pakistan, namun ia tertidur di
dekapan Matalir sehingga membuat Matalir tidak dapat berkutik di kursinya
sewaktu menunggu pesawatnya take off.
Syaila
digambarang oleh Shoim Anwar sebagai perempuan memakai gaun panjang terusan
berwarna hitam, memiliki bulu-bulu panjan di lengannya, dan juga memiliki
kuku-kuku yang dipotong meruncing berwarna merah muda. Pada akhir kisah cerpen
tersebut, tokoh Matalir mengejar Syaila pada Lorong-lorong yang terletak di
bawah setelah menuruni anak tangga di bandara tersebut. Matalir tidak mampu
mengejar tokoh Syaila, sampai diujung Lorong yang gelap ia justru menjumpai
kedua istri dan empat orang anaknya di gantung seperti kambing.
Cerpen
selanjutnya yakni berjudul Tahi Lalat. Cerpen tersebut merupakan cerpen yang
begitu fenomenal di lingkup Kampus Adi Buana Surabaya, terlebih lagi terbit di
berbagai media cetak. Cerpen yang mengangkat mengenai isu dan desas-desu tahi
lalat di dada istri seorang lurah. Di dalam cerpen tersebut, tokoh utama adalah
“Aku” digambarkan sebagai seorang lelaki yang memiliki seorang istri dan
seorang anak perempuan Bernama Laela duduk di bangku kelas dua SD. Berlatar
belakang di sebuah desa, cerpen mengisahkan mengenai desas-desus adanya tahi
lalat di dada istri pak lurah. Pak Lurah sendiri digambarkan sebagai seorang
maniak tanah, kerapkali menjual tanah milik warganya dengan cara paksa kepada
para pengembang perumahan. Maka dari hal tersebut banyak warganya yang
membicarakan dan menggunjingya termasuk dari hal paling kecil yakni tahi lalat
yang sebesar biji randu.
Shoim
Anwar menggambarkan citra perempuan dalam cerpen tersebut sebagai seorang
perempuan yang nakal, karena kedekatanya dengan bos proyek perumahan. Pada
akhir cerpen tersebut, Tokoh “aku” tertimpa nasib sial karena terjatuh akibat
diserempet oleh mobil jeep, sesampainya di rumah ia membeicarakan hal tersebut
kepada istrinya dan mendapati anaknya pulang dari sekolah membawa sebuah gambar
yang mirip seperti istri pak lurah karena adanya tahi lalat di dadanya.
Cerpen
ketiga yakni Sepatu Jinjit Aryanti. Berlatar tempat di sebuah hotel di
Singapura. Cerpen tersebut mengisahkan tokoh “Aku” dan perempuan bernama
“Aryanti”, seorang caddy lapangan golf. Aryanti digambarkan sebagai perempuan
yang memiliki paras cantik dan lincah. Kulitnya cerah, hidung cenderung kecil
tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan belahan di tengah. Tokoh
Aku dan Aryanti merupakan sebuah pelarian dari kasus pembunuhan seorang pria
yang merupakan petinggi (pejabat). Aryanti merupakan tokoh kunci dalam
mengungkap kasus tersebut, sehingga ia diselamtkan dan dijaga oleh tokoh “aku”
karena tokoh “aku” juga menjadi sasaran kambing hitam para petinggi. Selepas
kemesraan mereka, mereka lalu diketuk oleh dua pria misterius namun tokoh “aku”
sedikit mengenali mereka. Hingga pada akhir cerita dalam cerpen tersebut, tokoh
“aku” dan ariyanti dibawa pergi oleh kedua pria misterius tersebut ke
Balikpapan.
Cerpen
keempat yakni berjudul Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue. Berlatar
belakang di sebuah tempat dansa, cerpen tersebut menceritakan mengenai seorang
perempuan yang menagih janji seorang hakim pria bernama Bambi. Berbeda dengan
ketiga cerpen di atas, cerpen berjudul Bambi dan perempuan Berselendang Baby
Blue menggunakan tokoh utama seorang perempuan bernama Anik. Konflik terjadi
Ketika tokoh utama “Anik” menemui dan menahan “Bambi” di depan toilet pria.
Tokoh Anik bermaksud untuk menagih janji Bambi sewaktu dipersidangan ia
dimenangkan. Namun Bambi selaku hakim tunggal dipanggadilan justru berkhianat.
Anik mamasuki problematika hukum karena adanya iming-iming menang oleh Bambi
dan Anik telah memberikan uang kepada Bambi. Setelah perdebatan panjang
tersebut Anik dilerai oleh satpam dan akhirnya ditenangkan oleh tokoh bernama
Devira.
Devira
bercerita kepada Anik, bawah sesungguhnya alasan Bambi tidak memenangkannya di
pengadilan karena Bambi telah diberikan uang yang lebih banyak serta tubuh oleh
Miske yang memiliki nama asli Kiara. Kiara merupakan ahli waris dan anak dari
almarhum Pak Madali yang tokoh utama gugat. Pada akhir cerita, tokoh utama Anik
hanya bisa melihat Bambi dan Miske berangkulan sambal berjalan meninggalkan
arena menuju kamar hotel.
Cerpen
kelima yakni berjudul Jangan ke Istana Anakku. Cerpen tesebut masuk dalam
kategori arsip cerpen, Jawa Pos. Berlatar belakang di Istana dan kota yang jauh
dari Istana,dengan tokoh utama “Aku”. Tokoh utama “Aku” merupakan seorang
prajurit penjaga istana yang terpisah oleh anak yang bernama Dewi dan istri yang bernama
Trihayu karena kewajibannya sebagai seorang prajurit yang harus menetap di
Istana. Alasan tersebut karena semua prajurit diwajibkan tidur di barrak dalam
istana agar tidak membocorkan rahasia istana. Kewajibannya sebagai seorang
prajurit istana tersebutlah yang membuatnya harus terpisah dari anak dan istri,
ia harus berjaga sewaktu istrinya melahirkan dan ia harus berpisah serta
menitipkan Dewi kepada keponakannya untuk diasuh. Desas-desusnya bahwa istana
tepat ia jaga para petingginya menggunakan tumbal seorang perempuan-perempuan
cantik untuk dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang dihuni oleh Nyi Blorong.
Bahkan konon pada malam Rabu Kliwon Ketika terdengar gending dan bau kembang
serta kemenyan, pada saat itulah waktu wadal diumpankan. Pada cerpen ini, Shoim
Anwar menggambarkan tokoh Dewi sebagai seorang perempuan masih berumur remaja
anak dari seorang penjaga. Dewi berumur limas belas tahun yang memiliki wajah
mirip ibunya, kulitnya bersih, cerdas, lincah, dan gemar memakai celana pendek
serta memabawa alat di genggamannya.
Anak
dari tokoh utama tersebut kerap menginginkan untuk diajak ke istana oleh
bapaknya. Namun tokoh utama “Aku” selaku ayah menolak karena tahu kebusukan,
kekejaman, dan situasi di istana. Sehingga ia hanya ingin membuatkan gubuk
kecil untuk anknya agar dapat merasakan kebebasan yang ia sendiri dapati. Tokoh
utama “Aku” mengingikan anak gadisnya besar dengan kebebasan dan memiliki anak
yang dapat ia temani bermain kelak dengan gubuk kecilnya. Konflik memuncak
selepas ia mengujungi anaknya dan dijemput oleh empat orang pengawas dari
istana. Saat ia sedang bertugas seperti biasanya, tiba-tiba anjing-anjing
istana menggonggong luar biasa karena mencium bau darah. Dari pintu gerbang
tokoh “Aku” melihat tiga orang cecunguk istana membawa Dewi, namun dia hanya
bisa berdiri lemas dan memandangi anaknya dibawa oleh cecenguk istana. Dewi
dibawa masuk ke ruangan istana dan berjalan mendekati teras. Hanya rasa
kesedihan dan kekecewaan yang ada pada tokoh “Aku” melihat Dewi anaknya di bawa
ke istana, karena tiga hari lagi Rabu Kliwon, malam yang penuh misteri bagi
kehidupan istana.
Telaah
Citra Perempuan dan Kritik
Kita dapat
menemukan banyak kesamaan yang terdapat lima cerpen karya Shoim Anwar. Termasuk
dalam citra perempuan, bagaimana pengarang menggambarkan tokoh perempuan dalam
masing-masing cerpen begitu beragam. Pada cerpen Sorot Mata Syaila, pengarang
secara tangkas mampu menggambarkan fisik seorang perempuan bernama Syaila.
Tokoh Syaila dipandang dalam sisi peran di dalam masyarakat, sebagai makhluk
sosial tentunya perbincangan antara pria dan perempuan menggundang adanya
perasaan. Hal itu terjadi dalam cerpen tersebut, Syaila yang tidak malu
tertidur di dada tokoh utama yang bernama Matalir. Dari segi interpretasi,
tokoh perempuan bernama Syaila merupakan sosok yang memberikan pencerahan
kepada tokoh utama Matalir. Terlebih lagi latar belakang Matalir yang merupakan
buronan Lembaga Korupsi Indonesia menghalakan segala cara untuk bisa kabur dari
penangkapan. Hal tersebut dapat kita ketahui dari pengejaran Matalir terhadap
Syaila di sebuah lorong-lorong gelap bandara. Pada akhir pengejarannya tokoh
utama seakan diperlihatkan gambaran akan kedua istri dan empat orang anaknya
yang tergantung mati seperti kambing yang digantung. Citra fisis tokoh
perempuan Syaila yakni memakai gaun panjang terusan berwarna hitam, memiliki
bulu-bulu panjan di lengannya, dan juga memiliki kuku-kuku yang dipotong
meruncing berwarna merah muda. Hal tersebut menandakan bahwa pengarang
menggambarkan tokoh tersebut dewasa.
Namun hal tersebut berkebalikan
dengan penggambaran citra perempuan pada tokoh istri pak lurah. Dalam cerpen
Tahi lalat, istri pak lurah dalam perannya di masyarakat justru dipandang
sebagai perempuan yang buruk karena kedekatannya dengan bos proyek perumahan.
Hal lain adalah istri pak lurah didesa-desukan karena dadanya yang besar. Dalam
kehidupan nyata, perempuan yang memiliki dada yang besar dan indah kerapkali
dipandang sterotip sebagai perempuan yang penggoda dan memiliki nafsu besar.
Namun tokoh istri pak lurah dari segi citra psikis, ia berusaha untuk tidak
mendengar mengenai rumor dadanya, dan bahkan justru ia menyapa basa-basi kepada
para warga pria yang berkrumun.
Sedangkan
pada cerpen Sepatu Jinjit Aryanti, tokoh Aryanti memiliki citra fisis sebagai
perempuan yang memiliki paras cantik dan lincah. Kulitnya cerah, hidung
cenderung kecil tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan
belahan di tengah. Hal tersebut menandakan perannya sebagai perempuan dewasa.
Dalam perannya di masyarakat, Aryanti melakukan hubungan mesrah denga tokoh
utama dan terlihat pada framen di hotel dan di pesawat sewaktu ke Balikpapan,
Aryanti menggelot manja kepada tokoh utama. Dapat disimpulkan bahwa perempuan
akan selalu membutuhkan perlindungan dari laki-laki.
Citra
perempuan dalam perannya di masyarakat yang menujukan superpower adalah
penggambaran tokoh utama yakni Anik.
Sebagai seorang perempun, Anik dikatakan sebagai sosok yang pemberani karena
melawan tokoh Bambi. Anik bermaksud melabrak Bambi karena telah merasa
dibohongi di pengadilan. Dalam Hal ini terlihat jelas bahwa Anik memiliki citra
psikis yang kuat karena berani menantang Bambi yang merupakan seorang Hakim
dalam pengadilan. Namun usahanya tersebut sia-sia, Bambi berhasil lepas karena
Anik dilerai oleh pihak keamanan sewaktu pertengkaran terjadi.
Citra
fisis sebagai seorang anak perempuan terdapat pada cerpen Jangan ke Istana
Anakku. Dewi becritra fisis sebagai seorang perempuan masih berumur remaja .
Dewi berumur limas belas tahun yang memiliki wajah mirip ibunya, kulitnya
bersih, cerdas, lincah, dan gemar memakai celana pendek serta memabawa alat di
genggamannya. Dalam perannya di keluarga, Dewi tidak memiliki kekuatan dan
terbentuk aturan keluarga, bahwa anak harus patuh terhadap ayahnya.Citra psikis
yang ada pada Dewi yakni memiliki watak manja karena ingin sekali diajak ke
Istana oleh ayahnya. Namun hal tersebut ditolak karena ayahnya tidak ingin anak
gadisnya ditumbalkan. Namun pada akhirnya Dewi dibawa oleh cecunguk kerajaan ke
istana.
Dalam
aspek sosial, citra perempuan pada lima cerpen tersebut, memiliki hubungan
dengan pihak lain. Dari hubungan sebatas teman, dari hubungan keluarga,
hubungan sebagai warga masyarakat, dan hubungan sebagai rekan kerja. Dari
hubungan-hubungan tersebut tetap saja, perempuan masih terbelenggu superioritas
lajki-laki. Baker (Nurhadi, 2013:85) mengatakan bahwa perempuan dalam kehidupan
sosial, Sebagian besar masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan
masih dalam belenggu budaya patriarki, dimana kekuasaan masih didominasi oleh
laki-laki.
Pada
akhirnya, dari kelima cerpen tersebut dapat kita liahat bagaimana penggambaran
tokoh perempuan yang masih terikat oleh superioritas lelaki. Meskipun dalam
cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, dimana tokoh utama yakni
Anik memiliki keberanian namun masih tetap kalah. Terlihat jelas bahwa
pengarang, Shoim Anwar meletakan perempuan dalam cerpen tersebut sebagai sosok
yang masih membutuhkan perempuan. Kritikan tersebut mungkin dapat dijadikan
masukan untuk memberikan ruang terhadap tokoh perempuan sebagai sosok yang kuat
dari kacamata feminism. Apabila kritikan tersebut dapat diterima, mungkin
menjadi gebrakan dan angin segar bagi seorang pengarang pria dalam dinamika
kesusastraan Indonesia yang memberikan ruang kepada perempuan menjadi sosok
yang kuat. Terlebih lagi dalam era society 5.0 di 2021 sekarang, makna yang
diberikan akan tertuju oleh para pembaca akan dapat masuk sebagai sebuah
pembelajaran agar lebih menghormati perempuan. Sehingga melalui sastra kita
bisa menekan kasus-kasus patriarki atau kekerasan terhadap perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Eagleton,
Terry. 2010. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta.
Jalasutra dan Anggota IKAPI.
Baker,
Chris diterjemahkan oleh Nurhadi. 2013. Cultural Studies. Yogyakarta.
Kreasi Wacana.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University
Press.
Teeuw.
A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.
Wellek,
Rene dan Warren Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta. PT Gramedia
Pustaka Umum.