Jumat, 09 Juli 2021

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

 

Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

 

Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengarang untuk menyampaikan ide, gagasan, dan kegelisahan batin atas sesuatu yang berhasil ia rekam. Adanya gejolak dan hasrat dalam diri seorang pengarang akan dengan bebas dituangkan ke dalam bentuk kata-kata. Walaupun penyampaian cerpen lebih pendek ketimbang novel, namun dalam segi pemahaman cerpen juga tidak bisa dianggap remeh atau mudah. Hal tersebut terjadi karena dalam penulisan cerpen, pengarang tidak dapat membuat ruang lingkup yang lebih besar dalam melukiskan sebuah fenomena atau aspek yang ada di dalamnya. Akan tetapi cerpen mampu menawarkan variasi cerita yang begitu kompleks termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Edgar dalam (Nurgiyantoro, 12:2012) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita pendek yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira_kira berkisar antara setengah sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan dalam sebuah novel.

Permasalahan yang hadir dalam cerpen, kerapkali tidak terlepas dari kehidupan pengarang. Adapun permasalahan yang hadir dapat pengarang tangkap dan menjadi bahan baku dalam proses pembuatan cerita.  Sehingga hal tersebut dapat menjadi alasan bahwa karya sastra tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial masyarakat (Teew, 1984:185). Adanya makna yang dapat dituai dan kritik yang hadir di dalamnya menjadikan karya sastra tidak sekadar indah melainkan bermanfaat. Seperti halnya pada cerpen-cerpen karya Shoim Anwar yang begitu menarik untuk diulas dari segala sisi. Kepadatan cerita dan keruntutan jalan cerita yang digambarkan mampu menarik gairah pembacanya. Pembaca seakan-akan dibuat gemas, terlebih lagi cerpen yang ditulis menyuguhkan jalan cerita yang menggantung.

Dalam essai ini, penulis bermaksud melihat citra perempuan dalam lima cerpen karya Shoim Anwar. Bagaimana penggambaran dan perwatakan seorang perempuan yang dihadirkan pada cerpennya begitu menarik untuk diulas. Penulis tidak hanya menyuguhkan telaah dalam bentuk essai melainkan di dalamnya juga terkandung kritik bagi sang pengarang cerpen. Sehingga tulisan ini dirasa juga bermanfaat bagi pengarang untuk lebih produktif dan menjadi lebih baik untuk menciptakan karya sastra selanjutnya terutama cerpen.

Citra perempuan di dalam sebuah karya sastra kerapkali melahirkan bentuk citra perempuan yang sama di dalam kehidupan ataupun hal tersebut juga bisa berlaku sebaliknya. Dalam lima cerpen karya Shoim Anwar yakni, “Sorot Mata Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, dan “Jangan Ke Istana Anakku”, penulis menemukan adanya kesamaan, di mana dalam masing-masing cerpen tersebut, pengarang menghadirkan sesosok tokoh perempuan sebagai tokoh yang memiliki peran yang penting. Namun sebelum beranjak pada pembahasan inti mengenai bagaimana citra perempuan pada masing-masing cerpen tersebut hendaknya kita mengenal apa yang dinamakan “citra”.

Citra secara etimologi merupakan penggambaran, angan, atau pikirian. Selain itu citra atau citraan merupakan visualisasi yang dimiliki banyak orang mengenai pribadi, kesan, mental, ataupun bayangan yang diciptakan oleh sebuah kata-kata. Citra merupakan unsur dasar yang khas dalam sebuah karya dasar, baik itu puisi, cerpen, maupun novel. Banyak dari karya-karya penulis karya sastra yang menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang beraspek fisis dan psikis. Selain itu perempuan sebagai makhluk sosial juga tidak terlepas dari aspek keluarga dan masyarakat. Namun dalam beberapa analisis, kerapkali seorang peneliti feminisme berlandaskan dari aspek keluarga dan masyarakat. Keduan peran tersebut tentunya berbeda baik peran di dalam masyarakat maupun peran di dalam keluarga.

Citra perempuan yang Shoim Anwar tulis di dalam masing-masing cerpen tersebut juga bervariasi, namun apabila kita selami lebih dalam setiap cerita pada masing-masing cerpen tersebut, perempuan yang digambarkan memiliki andil besar bagi para tokoh utama. Seakan-akan pengarang, yakni Shoim Anwar menggambarkan perempuan sebagai sesuatu yang lebih. Adanya kesamaan peran dan sangkut paut dalam jalan cerita yang hampir sama merupakan sebuah temuan yang menarik untuk diulas. Hal tersebut berkaitan dengan citra fisis, yakni sebuah penggambaran sosok perempuan di dalam cerita tentang kesamaan kode, sehingga fisik perempuan tercitrakan dengan mapan dalam realitas. Maka dari itu, meskipun citra fisis perempuan dalam sebuah karya, yakni cerpen yang sepenuhnya merupakan hasil kreatif dari sang pengarang, namun kita sebagai pembaca memiliki kesamaan interpretasi dalam melihat fisik perempuan tersebut.

Kerapkali di dalam karya sastra perempuan yang digambarkan masih didominasi oleh peran lelaki. Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan lembut.  Hal ini juga terjadi di kehidupan nyata, perempuan mengalami sterotip, sebagai mahluk yang lemah lembut. Bahkan masih kerapk ditemui dalam media sosial dan media massa mengenai kasus pelecehan ataupun kekerasan terhadap perempuan. Terutama pada tahun 2020 terjadi demo besar mengenai RUU KUHP yang dianggap merugikan perempuan yakni pasal 414 terkait alat kontrasepsi, dan pasal 417 tentang perzinahan dan kohibitasi. Selain itu pada tahun 2021 terjadi kekerasan seorang perempuan oleh pacarnya seorang mahasiswa semester 4 di sebuah Universitas swasta ternama di Jakarta. Perempuan tersebut dianiaya dan diancam untuk disebarkan fotonya oleh pacarnya. Ruang patriarki di era society 5.0 nampaknya menjadi lebih tragis. Hal ini tidak jauh berbeda di dalam dunia sastra masih adanya pelemahan mengenai perempuan sebagai sosok yang masih dipandang sterotip.

Rangkuman Singkat Masing-masing Cerpen.

Kita akan berangkat dari jalan cerita masing-masing cerpen karya Shoim Anwar secara ringkas, agar pembaca awam akan mudah memahami. Tentang Cerpen Sorot Mata Syaila. Menceritakan mengenai tokoh Bernama “Matalir” yang merupakan buronan lembaga anti korupsi Indonesia. Berlatar belakang di Bandara Abu Dhabi, tokoh Matalir bertemu dengan sesosok perempuan cantik yang bernama Syaila. Matalir bukan tanpa alasan berada di Bandara Abu Dhabi, ia dan keluarganya usai menunaikan ibadah haji di kota Mekkah dan bermaksud untuk pergi ke luar negeri. Tokoh perempuan Syaila hendak pergi menuju Pakistan, namun ia tertidur di dekapan Matalir sehingga membuat Matalir tidak dapat berkutik di kursinya sewaktu menunggu pesawatnya take off.

Syaila digambarang oleh Shoim Anwar sebagai perempuan memakai gaun panjang terusan berwarna hitam, memiliki bulu-bulu panjan di lengannya, dan juga memiliki kuku-kuku yang dipotong meruncing berwarna merah muda. Pada akhir kisah cerpen tersebut, tokoh Matalir mengejar Syaila pada Lorong-lorong yang terletak di bawah setelah menuruni anak tangga di bandara tersebut. Matalir tidak mampu mengejar tokoh Syaila, sampai diujung Lorong yang gelap ia justru menjumpai kedua istri dan empat orang anaknya di gantung seperti kambing.

Cerpen selanjutnya yakni berjudul Tahi Lalat. Cerpen tersebut merupakan cerpen yang begitu fenomenal di lingkup Kampus Adi Buana Surabaya, terlebih lagi terbit di berbagai media cetak. Cerpen yang mengangkat mengenai isu dan desas-desu tahi lalat di dada istri seorang lurah. Di dalam cerpen tersebut, tokoh utama adalah “Aku” digambarkan sebagai seorang lelaki yang memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan Bernama Laela duduk di bangku kelas dua SD. Berlatar belakang di sebuah desa, cerpen mengisahkan mengenai desas-desus adanya tahi lalat di dada istri pak lurah. Pak Lurah sendiri digambarkan sebagai seorang maniak tanah, kerapkali menjual tanah milik warganya dengan cara paksa kepada para pengembang perumahan. Maka dari hal tersebut banyak warganya yang membicarakan dan menggunjingya termasuk dari hal paling kecil yakni tahi lalat yang sebesar biji randu.

Shoim Anwar menggambarkan citra perempuan dalam cerpen tersebut sebagai seorang perempuan yang nakal, karena kedekatanya dengan bos proyek perumahan. Pada akhir cerpen tersebut, Tokoh “aku” tertimpa nasib sial karena terjatuh akibat diserempet oleh mobil jeep, sesampainya di rumah ia membeicarakan hal tersebut kepada istrinya dan mendapati anaknya pulang dari sekolah membawa sebuah gambar yang mirip seperti istri pak lurah karena adanya tahi lalat di dadanya.

Cerpen ketiga yakni Sepatu Jinjit Aryanti. Berlatar tempat di sebuah hotel di Singapura. Cerpen tersebut mengisahkan tokoh “Aku” dan perempuan bernama “Aryanti”, seorang caddy lapangan golf. Aryanti digambarkan sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dan lincah. Kulitnya cerah, hidung cenderung kecil tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan belahan di tengah. Tokoh Aku dan Aryanti merupakan sebuah pelarian dari kasus pembunuhan seorang pria yang merupakan petinggi (pejabat). Aryanti merupakan tokoh kunci dalam mengungkap kasus tersebut, sehingga ia diselamtkan dan dijaga oleh tokoh “aku” karena tokoh “aku” juga menjadi sasaran kambing hitam para petinggi. Selepas kemesraan mereka, mereka lalu diketuk oleh dua pria misterius namun tokoh “aku” sedikit mengenali mereka. Hingga pada akhir cerita dalam cerpen tersebut, tokoh “aku” dan ariyanti dibawa pergi oleh kedua pria misterius tersebut ke Balikpapan.

Cerpen keempat yakni berjudul Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue. Berlatar belakang di sebuah tempat dansa, cerpen tersebut menceritakan mengenai seorang perempuan yang menagih janji seorang hakim pria bernama Bambi. Berbeda dengan ketiga cerpen di atas, cerpen berjudul Bambi dan perempuan Berselendang Baby Blue menggunakan tokoh utama seorang perempuan bernama Anik. Konflik terjadi Ketika tokoh utama “Anik” menemui dan menahan “Bambi” di depan toilet pria. Tokoh Anik bermaksud untuk menagih janji Bambi sewaktu dipersidangan ia dimenangkan. Namun Bambi selaku hakim tunggal dipanggadilan justru berkhianat. Anik mamasuki problematika hukum karena adanya iming-iming menang oleh Bambi dan Anik telah memberikan uang kepada Bambi. Setelah perdebatan panjang tersebut Anik dilerai oleh satpam dan akhirnya ditenangkan oleh tokoh bernama Devira.

Devira bercerita kepada Anik, bawah sesungguhnya alasan Bambi tidak memenangkannya di pengadilan karena Bambi telah diberikan uang yang lebih banyak serta tubuh oleh Miske yang memiliki nama asli Kiara. Kiara merupakan ahli waris dan anak dari almarhum Pak Madali yang tokoh utama gugat. Pada akhir cerita, tokoh utama Anik hanya bisa melihat Bambi dan Miske berangkulan sambal berjalan meninggalkan arena menuju kamar hotel.

Cerpen kelima yakni berjudul Jangan ke Istana Anakku. Cerpen tesebut masuk dalam kategori arsip cerpen, Jawa Pos. Berlatar belakang di Istana dan kota yang jauh dari Istana,dengan tokoh utama “Aku”. Tokoh utama “Aku” merupakan seorang prajurit penjaga istana yang terpisah oleh anak  yang bernama Dewi dan istri yang bernama Trihayu karena kewajibannya sebagai seorang prajurit yang harus menetap di Istana. Alasan tersebut karena semua prajurit diwajibkan tidur di barrak dalam istana agar tidak membocorkan rahasia istana. Kewajibannya sebagai seorang prajurit istana tersebutlah yang membuatnya harus terpisah dari anak dan istri, ia harus berjaga sewaktu istrinya melahirkan dan ia harus berpisah serta menitipkan Dewi kepada keponakannya untuk diasuh. Desas-desusnya bahwa istana tepat ia jaga para petingginya menggunakan tumbal seorang perempuan-perempuan cantik untuk dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang dihuni oleh Nyi Blorong. Bahkan konon pada malam Rabu Kliwon Ketika terdengar gending dan bau kembang serta kemenyan, pada saat itulah waktu wadal diumpankan. Pada cerpen ini, Shoim Anwar menggambarkan tokoh Dewi sebagai seorang perempuan masih berumur remaja anak dari seorang penjaga. Dewi berumur limas belas tahun yang memiliki wajah mirip ibunya, kulitnya bersih, cerdas, lincah, dan gemar memakai celana pendek serta memabawa alat di genggamannya.

Anak dari tokoh utama tersebut kerap menginginkan untuk diajak ke istana oleh bapaknya. Namun tokoh utama “Aku” selaku ayah menolak karena tahu kebusukan, kekejaman, dan situasi di istana. Sehingga ia hanya ingin membuatkan gubuk kecil untuk anknya agar dapat merasakan kebebasan yang ia sendiri dapati. Tokoh utama “Aku” mengingikan anak gadisnya besar dengan kebebasan dan memiliki anak yang dapat ia temani bermain kelak dengan gubuk kecilnya. Konflik memuncak selepas ia mengujungi anaknya dan dijemput oleh empat orang pengawas dari istana. Saat ia sedang bertugas seperti biasanya, tiba-tiba anjing-anjing istana menggonggong luar biasa karena mencium bau darah. Dari pintu gerbang tokoh “Aku” melihat tiga orang cecunguk istana membawa Dewi, namun dia hanya bisa berdiri lemas dan memandangi anaknya dibawa oleh cecenguk istana. Dewi dibawa masuk ke ruangan istana dan berjalan mendekati teras. Hanya rasa kesedihan dan kekecewaan yang ada pada tokoh “Aku” melihat Dewi anaknya di bawa ke istana, karena tiga hari lagi Rabu Kliwon, malam yang penuh misteri bagi kehidupan istana.

Telaah Citra Perempuan dan Kritik

            Kita dapat menemukan banyak kesamaan yang terdapat lima cerpen karya Shoim Anwar. Termasuk dalam citra perempuan, bagaimana pengarang menggambarkan tokoh perempuan dalam masing-masing cerpen begitu beragam. Pada cerpen Sorot Mata Syaila, pengarang secara tangkas mampu menggambarkan fisik seorang perempuan bernama Syaila. Tokoh Syaila dipandang dalam sisi peran di dalam masyarakat, sebagai makhluk sosial tentunya perbincangan antara pria dan perempuan menggundang adanya perasaan. Hal itu terjadi dalam cerpen tersebut, Syaila yang tidak malu tertidur di dada tokoh utama yang bernama Matalir. Dari segi interpretasi, tokoh perempuan bernama Syaila merupakan sosok yang memberikan pencerahan kepada tokoh utama Matalir. Terlebih lagi latar belakang Matalir yang merupakan buronan Lembaga Korupsi Indonesia menghalakan segala cara untuk bisa kabur dari penangkapan. Hal tersebut dapat kita ketahui dari pengejaran Matalir terhadap Syaila di sebuah lorong-lorong gelap bandara. Pada akhir pengejarannya tokoh utama seakan diperlihatkan gambaran akan kedua istri dan empat orang anaknya yang tergantung mati seperti kambing yang digantung. Citra fisis tokoh perempuan Syaila yakni memakai gaun panjang terusan berwarna hitam, memiliki bulu-bulu panjan di lengannya, dan juga memiliki kuku-kuku yang dipotong meruncing berwarna merah muda. Hal tersebut menandakan bahwa pengarang menggambarkan tokoh tersebut dewasa.

            Namun hal tersebut berkebalikan dengan penggambaran citra perempuan pada tokoh istri pak lurah. Dalam cerpen Tahi lalat, istri pak lurah dalam perannya di masyarakat justru dipandang sebagai perempuan yang buruk karena kedekatannya dengan bos proyek perumahan. Hal lain adalah istri pak lurah didesa-desukan karena dadanya yang besar. Dalam kehidupan nyata, perempuan yang memiliki dada yang besar dan indah kerapkali dipandang sterotip sebagai perempuan yang penggoda dan memiliki nafsu besar. Namun tokoh istri pak lurah dari segi citra psikis, ia berusaha untuk tidak mendengar mengenai rumor dadanya, dan bahkan justru ia menyapa basa-basi kepada para warga pria yang berkrumun.

Sedangkan pada cerpen Sepatu Jinjit Aryanti, tokoh Aryanti memiliki citra fisis sebagai perempuan yang memiliki paras cantik dan lincah. Kulitnya cerah, hidung cenderung kecil tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan belahan di tengah. Hal tersebut menandakan perannya sebagai perempuan dewasa. Dalam perannya di masyarakat, Aryanti melakukan hubungan mesrah denga tokoh utama dan terlihat pada framen di hotel dan di pesawat sewaktu ke Balikpapan, Aryanti menggelot manja kepada tokoh utama. Dapat disimpulkan bahwa perempuan akan selalu membutuhkan perlindungan dari laki-laki.

Citra perempuan dalam perannya di masyarakat yang menujukan superpower adalah penggambaran tokoh utama yakni  Anik. Sebagai seorang perempun, Anik dikatakan sebagai sosok yang pemberani karena melawan tokoh Bambi. Anik bermaksud melabrak Bambi karena telah merasa dibohongi di pengadilan. Dalam Hal ini terlihat jelas bahwa Anik memiliki citra psikis yang kuat karena berani menantang Bambi yang merupakan seorang Hakim dalam pengadilan. Namun usahanya tersebut sia-sia, Bambi berhasil lepas karena Anik dilerai oleh pihak keamanan sewaktu pertengkaran terjadi.

Citra fisis sebagai seorang anak perempuan terdapat pada cerpen Jangan ke Istana Anakku. Dewi becritra fisis sebagai seorang perempuan masih berumur remaja . Dewi berumur limas belas tahun yang memiliki wajah mirip ibunya, kulitnya bersih, cerdas, lincah, dan gemar memakai celana pendek serta memabawa alat di genggamannya. Dalam perannya di keluarga, Dewi tidak memiliki kekuatan dan terbentuk aturan keluarga, bahwa anak harus patuh terhadap ayahnya.Citra psikis yang ada pada Dewi yakni memiliki watak manja karena ingin sekali diajak ke Istana oleh ayahnya. Namun hal tersebut ditolak karena ayahnya tidak ingin anak gadisnya ditumbalkan. Namun pada akhirnya Dewi dibawa oleh cecunguk kerajaan ke istana.

Dalam aspek sosial, citra perempuan pada lima cerpen tersebut, memiliki hubungan dengan pihak lain. Dari hubungan sebatas teman, dari hubungan keluarga, hubungan sebagai warga masyarakat, dan hubungan sebagai rekan kerja. Dari hubungan-hubungan tersebut tetap saja, perempuan masih terbelenggu superioritas lajki-laki. Baker (Nurhadi, 2013:85) mengatakan bahwa perempuan dalam kehidupan sosial, Sebagian besar masih hidup dalam superioritas laki-laki. Perempuan masih dalam belenggu budaya patriarki, dimana kekuasaan masih didominasi oleh laki-laki.

Pada akhirnya, dari kelima cerpen tersebut dapat kita liahat bagaimana penggambaran tokoh perempuan yang masih terikat oleh superioritas lelaki. Meskipun dalam cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue, dimana tokoh utama yakni Anik memiliki keberanian namun masih tetap kalah. Terlihat jelas bahwa pengarang, Shoim Anwar meletakan perempuan dalam cerpen tersebut sebagai sosok yang masih membutuhkan perempuan. Kritikan tersebut mungkin dapat dijadikan masukan untuk memberikan ruang terhadap tokoh perempuan sebagai sosok yang kuat dari kacamata feminism. Apabila kritikan tersebut dapat diterima, mungkin menjadi gebrakan dan angin segar bagi seorang pengarang pria dalam dinamika kesusastraan Indonesia yang memberikan ruang kepada perempuan menjadi sosok yang kuat. Terlebih lagi dalam era society 5.0 di 2021 sekarang, makna yang diberikan akan tertuju oleh para pembaca akan dapat masuk sebagai sebuah pembelajaran agar lebih menghormati perempuan. Sehingga melalui sastra kita bisa menekan kasus-kasus patriarki atau kekerasan terhadap perempuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra dan Anggota IKAPI.

Baker, Chris diterjemahkan oleh Nurhadi. 2013. Cultural Studies. Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Umum.

 

Minggu, 27 Juni 2021

Judika - Mama Papa Larang

     Video klip tersebut di reka ulang oleh mahasiswa bahasa Indonesia sebagai bentuk salah satu karya sastra. Video tersebut terinspirasi dari lagu Judika yang berjudul Mama Papa Larang. Lagu tersebut menceritakan tentang kisah sepasang kekasih yang tidak direstui oleh orangtua perempuannya.

    Meskipun terinsipirasi dari Judika, namun mahasiswa tersebut tidak meniru adegan dari video klip aslinya. Jalan cerita yang disajikan juga berbeda. Jika di video klip judika cuma menampilkan sepasang kekasih yang lagi galau karena tidak mendapat restu, video klip yang dibuat mahasiswa bahasa Indonesia benar-benar menceritakan kisah sepasang kekasih yang orangtuanya tidak merestuinya sampai lelaki itu berjuang dan menemui ibunya.

    Mahasiswa yang bagian vokal cukup menghayati dalam berakting dan cukup baik dalam menyesuaikan lagu dan mulut. Untuk mahasiswa yang lain kurang bagus dan kaku dalam berakting. Jadi terlihat seperti tidak nyata dan kesan haru yang disampaikan tidak bisa dirasakan oleh penonton

Rabu, 16 Juni 2021

Malu Aku Jadi Orang Indonesia

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia 

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini 

II
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang susah dicari tandingan, 

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat
-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak
putus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara resmi,

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan, 

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

1998

    Pada bait pertama, disebutkan bahwa tokoh aku sebenarnya sudah bangga menjadi orang Indonesia karena negerinya telah berhasil merdeka atas jerih payah sendiri. Baru merdeka enam tahun saja sudah diakui dunia. Ia juga memiliki sahabat dari luar negeri yang justru paham betul akan revolusi Indonesia. Bahkan, juga hafal betul pertempuran Surabaya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa justru warga negara asing lebih mengerti bagaimana perjuangan nyata dalam mengartikan sebuah kemerdekaan.

    Pada bait kedua, disebutkan bahwa bagaimana bangganya tokoh aku yang mendapat beasiswa pendidikan di luar negeri. Sayangnya, kebanggaan tersebut semakin lama semakin memudar. Pasalnya hakikat kemerdekaan tak dapat dijaga dengan benar oleh warga negara Indonesia. Kini semua akhlak telah dirusak. Hukum-hukum pun mulai direndahkan. Semua aturan dapat dipermainkan. Norma-norma tak lagi dihiraukan. Kini semua telah rusak. Malu rasanya menjadi warga Indonesia yang dengan susah payahnya berjuang untuk merdeka namun telah dirusak segalanya.

    Pada bait ketiga, berisikan puncak amarah dari sang penyair. Ia membeberkan bagaimana parahnya sistem pemerintahan di Indonesia. Bagaimana bobroknya sistem birokrasi Indonesia. Mulai dari politik, hukum, kebebasan hak warga negara, hingga urusan sepak bola pun dipalsukan. Wajar memang penyair begitu kecewa dan kesal akan sistem pemerintahan Indonesia karena telah melenceng jauh dari tujuan awal kemerdekaan. Malu rasanya mengingat sang pahlawan memperjuangkan harga dirinya untuk menyejahterakan warganya. Jerih payah yang luar biasa dirusak begitu saja.

    Pada bait keempat, menjelaskan bahwa bagaimana malunya penyair melihat keadaan Indonesia yang telah di ujung tanduk. Ia tak menyangka hakikat kemerdekaan mudah saja dipermainkan oleh warga negaranya sendiri. Bahkan ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi namun juga seluruh warga Indonesia. Sungguh mereka yang tak bertanggungjawab tidak memikirkan nasib pahlawannya yang pasti sedih melihat kondisi pemerintahan tak sesuai tujuan awalnya. Sungguh malu rasanya apabila diketahui dunia bahwa warganya tak bisa memegang teguh prinsip kemerdekaan sebenarnya.

Sabtu, 05 Juni 2021

Setan Banteng

 Setan Banteng

Dapat dibaca di https://lakonhidup.com/2018/12/22/setan-banteng/

Sinopsis:

    Cerpen tersebut menceritakan tentang serombangan anak laki-laki pada jam istirahat. Rupanya anak-anak SD itu akan melakukan permainan setan banteng. Permainan tersebut dilakukan dengan kapur putih, salah seorang dari anak-anak itu cukup menggambar di lantai, atau kalau tidak ada kapur bisa menggunakan patahan ranting, menggurat di tanah. Anak yang mau menjadi banteng itu pun maju mendekati gambar, menekuk lutut, mengarahkan kepala ke arah gambar seperti mau bersujud. Namun anak itu tidak bersujud, ketika wajahnya mendekati gambar jari-jari tangannya membentuk lingkaran di depan kedua mata, seperti orang yang berpura-pura memegang teropong. Masih seperti mau bersujud, tubuhnya menekuk dengan jari-jari tangan melingkar di depan mata sampai tepat berhadapan dengan gambar makhluk bertanduk yang dimaksudkan sebagai banteng itu. Melalui jari-jari tangannya yang melingkar di depan mata itu, terhubunglah matanya dengan mata banteng.

Tanggapan: 

    Dalam membaca cerpen tersebut mengingatkan saya pada pertunjukkan Bantengan yang terdapat di Jawa Timur. Namun, dalam bantengan di Jawa Timur bukan sesuatu yang untuk dimainkan karena bantengan tersebut erat kaitannya dengan mistis. Jika dalam cerpen setan banteng adalah sebuah permainan, pertunjukan bantengan merupakan kesenian yang lahir dari perguruan pencak silat. Kesenian bantengan diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Singosari. Hal ini dibuktikan dari adanya relief di Candi Jago, Tumpang, Malang, Jawa Timur yang menggambarkan harimau (macan) melawan banteng. Sedangkan di sisi lainnya, juga terdapat gambar tarian menggunakan topeng banteng.

    Setan banteng dan bantengan mempunyai kesamaan, yakni sama-sama mengalami kesurupan. Namun, dalam cara bermainnya banyak perbedaan. Permainan setan banteng tidak menggunakan atribut apapun dan hanya dimainkan oleh satu orang sedangkan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang dalam satu grup yang membentuk satu badan banteng.  Dimana satu orang menjadi kaki depan dan memegang kepala, sedangkan lainnya menjadi kaki belakang sebagai badan banteng. Keduanya bergerak kompak seperti satu tubuh, jiwa, dan roh.


Senin, 31 Mei 2021

Sajak Palsu

   Puisi Agus R. Sarjono

              Sajak Palsu

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998

    Berdasarkan isinya, puisi tersebut memiliki banyak maksud dan sindiran. Sindiran tersebut ditujukan kepada mereka-mereka yang telah memiliki jabatan tinggi, sehingga dimanfaatkan untuk membuat kepalsuan demi tercapainya sebuah kebahagiaan. Namun sebenarnya kebahagiaan tersebut juga kepalsuan karena tidak sesuai dengan yang dijalankan. Apapun akan dipalsukan, mulai dari sekolah, jabatan, pangkat, sistem, hingga kebijakan.

    Berdasarkan isi dan maknanya, puisi tersebut sangat menarik. Hal ini karena selain puisi tersebut memiliki realisme, juga menimbulkan tanda tanya dalam benak pembacanya. Pembaca diajak seolah-olah merasakan mirisnya kepalsuan yang diciptakan demi kebahagiaan yang sebenarnya juga palsu. Apalagi hal tersebut dilakukan demi mendapatkan jabatan, pangkat, dan lain sebagainya.


Minggu, 23 Mei 2021

Peringatan

   Puisi Wiji Thukul 

         PERINGATAN

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gasat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!



                  Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa guna punya ilmu

Kalau hanya untuk mengibuli

Apa gunanya banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata

Berdiri gagah

Kongkalikong

Dengan kaum cukong

Di desa-desa

Rakyat dipaksa

Menjual tanah

Tapi, tapi, tapi, tapi

Dengan harga murah

Apa guna banyak baca buku

Kalau mulut kau bungkam melulu


    Pada puisi pertama, berisi peringatan bahwa rakyat dapat menyuarakan pendapatnya. Peringatan tersebut ditujukan rakyat untuk pemerintah. Pada bait "suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan" mempunyai makna bahwa pemerintah harus menerima kritikan dari rakyatnya.

    Pada puisi kedua, berisi sindiran kepada pemerintah. Sepintar apapun seseorang, jika kepintarannya hanya untuk membodohi orang lain maka ilmu itu tidak ada gunanya. 

Minggu, 16 Mei 2021

Idul Fitri

    Sutardji Calzoum Bachri adalah sastrawan Indonesia yang lahir pada 24 Juni 1941, dan saat ini menginjak usia 79 tahun. Sutardji dijuluki sebagai presiden penyair Indonesia dan merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an. Ia lahir di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Dia juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak bersama K.H. Mustofa Bisri dan Taufiq Ismail, juga diundang Dato Anwar Ibrahim (sewaktu menjabar Menteri Keuangan Malaysia) untuk membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Salah satu puisi yang ditulis oleh beliau adalah berjudul Idul Fitri yang akan saya bahas dalam kritik esai berikut.

 Idul Fitri

                      Puisi  Sutadji Calzoum Bachri


Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya


    Pada bait pertama, penulis sangat menyesali dosa-dosa yang pernah ia buat. Pada bulan ramadhan, bulan yang penuh pengampunan dimanfaatkan beliau dengan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta agar dosa-dosanya dapat diampuni. 


Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa


    Pada bait kedua, penulis sangat bahagia, dan merindukan ibadah kepada Tuhan. Kewajiban dia dengan Tuhan tidak akan pernah dilupakan, seperti sholat, zikir. Hal itu membuat ia merasa kehidupannya yang lalu terasa sia-sia karena baru sekrang dia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.


O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia


    Pada bait ketiga, penulis sangat menyesali perbuatan dosa-dosanya di masa lalu. Dia memohon kepada Tuhan agar tidak dikembalikan pada kondisi seperti itu lagi. Di sisa-sisa usianya penulis ingin memulai hidup yang baru dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.


Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana


    Pada bait keempat, hari kemenangan bagi setiap muslim pun tiba. Hari yang ditunggu-tunggu setahun sekali. Hari yang penuh fitrah, semua umat muslim dalam keadaan suci. Pada pagi hari penulis bersiap untuk melaksanakan sholat idul fitri.


Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.

  Essai Citra Perempuan di Lima Cerpen Karya Shoim Anwar.   Sebagai sebuah karya sastra, cerpen merupkan bentuk komunikasi sang pengaran...